Menimbang-nimbang Rekonsiliasi
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) masih dipersiapkan pemerintah. Apakah UU KKR yang lahir nantinya benar-benar mampu menawarkan dan mewujudkan rekonsiliasi terbaik bagi Indonesia? Sulit menjawabnya.
Hal penting sekarang, berbagai pihak perlu urun rembuk agar hasil akhir (berupa UU KKR) benar-benar menawarkan pola terbaik. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dikabarkan berencana membuat konsep rekonsiliasi yang nantinya direkomendasi kepada pemerintahan Megawati. Di samping itu, yang terpenting, ada kesungguhan pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk merealisasikan isi ''UU KKR''.
Eep Saefulloh Fatah, pengamat politik dari Universitas Indonesia, berpendapat, rekonsiliasi didasarkan pada pemberian maaf bangsa terhadap kejahatan berat masa lalu. Tapi, tak cukup sampai di situ, pemerintah tidak melupakannya begitu saja karena ia bertanggungjawab mencegah terulangnya kembali kejahatan yang sama --penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM-- di masa mendatang.
Titik berat rekonsiliasi ditawarkan Daniel Sparringa dari Universitas Airlangga. Bagi Daniel, rekonsiliasi sebatas memberikan desain penyelamatan masa depan bangsa. Target pertama rekonsiliasi bukan untuk pencarian keadilan, melainkan bertujuan ''menyelamatkan masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi generasi mendatang bangsa.''
Pendapat Eep di atas bertumpu pada pemberian maaf, dengan kata lain amnesti bagi pelaku kejahatan masa lalu. Sementara pemikiran Daniel menekankan aspek non-prosekusi. Berdasar kedua kecenderungan cakupan tersebut dapat digarisbawahi bahwa katakunci gagasan rekonsiliasi adalah amnesti dan non-prosekusi.
Kenyataannya, tidak mudah memastikan pemberian maaf benar-benar menjamin pencapaian masa depan yang adil serta tidak terulangnya pelanggaran berat HAM di kemudian hari. Masalahnya, batasan siapa saja yang harus terlibat rekonsiliasi, apa tujuannya, bagaimana pelaksanaannya, berkaitan langsung dengan realitas sosial dan politik yang melingkupi pemerintahan transisi.
Meski demikian, sebagai panduan menelusur cakupan rekonsiliasi dapat dikemukakan sejumlah pola sikap terhadap borok sejarah. Yakni: melupakan dan memaafkan; tidak melupakan tetapi memaafkan; tidak memaafkan namun melupakan. Jadi, ketiga pola memperlihatkan tidak ada paduan sikap yang ''tidak melupakan dan tidak memaafkan''. Setidaknya hal itu tercermin dalam empat tipe transisi yang berlangsung di berbagai belahan dunia.
Pertama, denazifikasi (denazification) di Jerman. Dalam rangka melikuidasi Nazisme, Jerman pasca-Hitler tidak melaksanakan rekonsiliasi. Pemerintahan baru tidak mau melupakan dan tak bersedia memaafkan Nazisme.
Kedua, defasistisasi (defascistization) di Italia. Pemerintahan Italia pasca-Mussolini pun tidak mewujudkan rekonsiliasi terhadap Fasisme. Pemerintahan baru tidak memaafkan tetapi melupakan.
Ketiga, dejuntafikasi (dejunctafication) di beberapa negara Amerika Latin. Ketika pemerintahan baru hendak melepaskan diri dari rezim diktator yang didukung militer, rekonsiliasi dicapai setelah pemberian maaf melalui amnesti. Namun banyak kalangan tidak pernah bersedia melupakan kejahatan militer masa lalu.
Keempat, dekomunisasi (decommunization) di negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet pasca-Komunisme. Kecenderungan di negara ini tak berbeda jauh dengan yang terjadi di Jerman. Tidak terjadi rekonsiliasi karena pemerintahan baru tidak memaafkan dan tidak melupakan.
Model yang tidak murni seperti keempat tipe tersebut --dengan penyelesaian akhir yang berbeda-- diterapkan Korea Selatan dan Afrika Selatan, dan berhasil cukup baik mewujudkan sebuah rekonsiliasi. Korsel menerapkan sikap ''tidak memaafkan tetapi melupakan'' dengan mengajukan dua presidennya --Park Chung Hee dan Chun Do Hwan-- ke pengadilan. Sementara di Afsel sukses menerapkan tipe dejuntafikasi berkat panduan moral Uskup Desmond Tutu dan Nelson Mandela.
Begitu pula Argentina, Uruguay, dan Chili. Pemerintahan baru di ketiga negara itu menyadari sulitnya menghadapi transisi demokratis karena menghadapi tekanan berat militer yang tak ingin kejahatan masa lalunya dibongkar.
Bagaimana dengan model ishlah (berdamai) yang diupayakan Moerdani-Try Sutrisno dkk atas kasus Tanjung Priok dan Lampung? Ketua Tim Perumus RUU KKR Prof Dr Romli Atmasasmita SH menegaskan, seluruh proses rekonsiliasi yang dilakukan di luar mekanisme KKR tidak mengikat secara hukum. KKR adalah institusi negara satu-satunya yang berwenang mencari dan mengungkap kebenaran atas pelanggaran berat HAM, serta melaksanakan rekonsiliasi. ''Apalagi diketahui, ishlah itu tidak didasari adanya pengungkapan kebenaran. Walaupun secara implisit, para pelaku telah mengakui perbuatannya di masa lalu,'' papar Romli dalam sebuah acara sosialisasi RUU KKR di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pendapat senada diungkap Yusril Ihza Mahendra. Ahli waris korban tragedi Tanjung Priok tak berhak secara mudah melakukan perdamaian dengan TNI. Pasalnya, dengan mengacu pada filosofi hukum pidana, tragedi Priok tidak hanya merugikan ahli waris korban, tapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Romli menambahkan, proses rekonsiliasi bisa saja dilakukan dengan ishlah. Namun, proses ishlah tersebut harus dilakukan melalui proses pengungkapan kebenaran yang mekanismenya dilakukan melalui komisi ini.
Proses rekonsiliasi, Romli mengatakan, tidak akan berjalan tanpa pencarian kebenaran. Bila ini terjadi, KKR dapat dipandang sebagai lembaga impunitas (melindungi pelaku kejahatan) baru. Bahkan, jangan sampai ada pemikiran atau harapan para pelaku bahwa karena ingin tidak ada pengadilan HAM, mereka ingin KKR ini cepat terbentuk.
Sebab, KKR juga akan merekomendasikan kasus-kasus ke pengadilan HAM jika ditemukan bukti hukum kuat. Namun, terhadap para pelaku yang menerima amnesti, tidak dapat lagi dituntut di pengadilan, baik secara pidana maupun perdata. Sebab, pertanggungjawabannya sudah diambil alih negara.
Hal penting sekarang, berbagai pihak perlu urun rembuk agar hasil akhir (berupa UU KKR) benar-benar menawarkan pola terbaik. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dikabarkan berencana membuat konsep rekonsiliasi yang nantinya direkomendasi kepada pemerintahan Megawati. Di samping itu, yang terpenting, ada kesungguhan pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk merealisasikan isi ''UU KKR''.
Eep Saefulloh Fatah, pengamat politik dari Universitas Indonesia, berpendapat, rekonsiliasi didasarkan pada pemberian maaf bangsa terhadap kejahatan berat masa lalu. Tapi, tak cukup sampai di situ, pemerintah tidak melupakannya begitu saja karena ia bertanggungjawab mencegah terulangnya kembali kejahatan yang sama --penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM-- di masa mendatang.
Titik berat rekonsiliasi ditawarkan Daniel Sparringa dari Universitas Airlangga. Bagi Daniel, rekonsiliasi sebatas memberikan desain penyelamatan masa depan bangsa. Target pertama rekonsiliasi bukan untuk pencarian keadilan, melainkan bertujuan ''menyelamatkan masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi generasi mendatang bangsa.''
Pendapat Eep di atas bertumpu pada pemberian maaf, dengan kata lain amnesti bagi pelaku kejahatan masa lalu. Sementara pemikiran Daniel menekankan aspek non-prosekusi. Berdasar kedua kecenderungan cakupan tersebut dapat digarisbawahi bahwa katakunci gagasan rekonsiliasi adalah amnesti dan non-prosekusi.
Kenyataannya, tidak mudah memastikan pemberian maaf benar-benar menjamin pencapaian masa depan yang adil serta tidak terulangnya pelanggaran berat HAM di kemudian hari. Masalahnya, batasan siapa saja yang harus terlibat rekonsiliasi, apa tujuannya, bagaimana pelaksanaannya, berkaitan langsung dengan realitas sosial dan politik yang melingkupi pemerintahan transisi.
Meski demikian, sebagai panduan menelusur cakupan rekonsiliasi dapat dikemukakan sejumlah pola sikap terhadap borok sejarah. Yakni: melupakan dan memaafkan; tidak melupakan tetapi memaafkan; tidak memaafkan namun melupakan. Jadi, ketiga pola memperlihatkan tidak ada paduan sikap yang ''tidak melupakan dan tidak memaafkan''. Setidaknya hal itu tercermin dalam empat tipe transisi yang berlangsung di berbagai belahan dunia.
Pertama, denazifikasi (denazification) di Jerman. Dalam rangka melikuidasi Nazisme, Jerman pasca-Hitler tidak melaksanakan rekonsiliasi. Pemerintahan baru tidak mau melupakan dan tak bersedia memaafkan Nazisme.
Kedua, defasistisasi (defascistization) di Italia. Pemerintahan Italia pasca-Mussolini pun tidak mewujudkan rekonsiliasi terhadap Fasisme. Pemerintahan baru tidak memaafkan tetapi melupakan.
Ketiga, dejuntafikasi (dejunctafication) di beberapa negara Amerika Latin. Ketika pemerintahan baru hendak melepaskan diri dari rezim diktator yang didukung militer, rekonsiliasi dicapai setelah pemberian maaf melalui amnesti. Namun banyak kalangan tidak pernah bersedia melupakan kejahatan militer masa lalu.
Keempat, dekomunisasi (decommunization) di negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet pasca-Komunisme. Kecenderungan di negara ini tak berbeda jauh dengan yang terjadi di Jerman. Tidak terjadi rekonsiliasi karena pemerintahan baru tidak memaafkan dan tidak melupakan.
Model yang tidak murni seperti keempat tipe tersebut --dengan penyelesaian akhir yang berbeda-- diterapkan Korea Selatan dan Afrika Selatan, dan berhasil cukup baik mewujudkan sebuah rekonsiliasi. Korsel menerapkan sikap ''tidak memaafkan tetapi melupakan'' dengan mengajukan dua presidennya --Park Chung Hee dan Chun Do Hwan-- ke pengadilan. Sementara di Afsel sukses menerapkan tipe dejuntafikasi berkat panduan moral Uskup Desmond Tutu dan Nelson Mandela.
Begitu pula Argentina, Uruguay, dan Chili. Pemerintahan baru di ketiga negara itu menyadari sulitnya menghadapi transisi demokratis karena menghadapi tekanan berat militer yang tak ingin kejahatan masa lalunya dibongkar.
Bagaimana dengan model ishlah (berdamai) yang diupayakan Moerdani-Try Sutrisno dkk atas kasus Tanjung Priok dan Lampung? Ketua Tim Perumus RUU KKR Prof Dr Romli Atmasasmita SH menegaskan, seluruh proses rekonsiliasi yang dilakukan di luar mekanisme KKR tidak mengikat secara hukum. KKR adalah institusi negara satu-satunya yang berwenang mencari dan mengungkap kebenaran atas pelanggaran berat HAM, serta melaksanakan rekonsiliasi. ''Apalagi diketahui, ishlah itu tidak didasari adanya pengungkapan kebenaran. Walaupun secara implisit, para pelaku telah mengakui perbuatannya di masa lalu,'' papar Romli dalam sebuah acara sosialisasi RUU KKR di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pendapat senada diungkap Yusril Ihza Mahendra. Ahli waris korban tragedi Tanjung Priok tak berhak secara mudah melakukan perdamaian dengan TNI. Pasalnya, dengan mengacu pada filosofi hukum pidana, tragedi Priok tidak hanya merugikan ahli waris korban, tapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan.
Romli menambahkan, proses rekonsiliasi bisa saja dilakukan dengan ishlah. Namun, proses ishlah tersebut harus dilakukan melalui proses pengungkapan kebenaran yang mekanismenya dilakukan melalui komisi ini.
Proses rekonsiliasi, Romli mengatakan, tidak akan berjalan tanpa pencarian kebenaran. Bila ini terjadi, KKR dapat dipandang sebagai lembaga impunitas (melindungi pelaku kejahatan) baru. Bahkan, jangan sampai ada pemikiran atau harapan para pelaku bahwa karena ingin tidak ada pengadilan HAM, mereka ingin KKR ini cepat terbentuk.
Sebab, KKR juga akan merekomendasikan kasus-kasus ke pengadilan HAM jika ditemukan bukti hukum kuat. Namun, terhadap para pelaku yang menerima amnesti, tidak dapat lagi dituntut di pengadilan, baik secara pidana maupun perdata. Sebab, pertanggungjawabannya sudah diambil alih negara.
Sumber : http://elsam.minihub.org/kkr/timbangkkr.html
Posted in
Artikel
Tulisan Terkait :
Popular Posts
-
MP3 Muslim Entreprener Forum 2012 MEF Ust Heru Binawan [Sambutan DPP HTI] [2 MB] MEF Talk Show Bpk Iskandar Zulkarnain [5 MB] MEF Bala...
-
(Minaut = Pemecahan Persoalan dan Pengambilan Keputusan) Pengantar Dalam menjalankan tugasnya sehari...
-
Oleh : Musryadanta Inilah fakta yang terlihat di kotaku tercinta, dimana pengemis dan anak telantar seolah-olah dilegalkan oleh pemeri...
Recent
Connect with Facebook
Sponsors
Search
Categories
Analisis
Artikel
Berita
Budaya
Catatan Facebook
CCTV
Daerah
download Materi
Gambar Unik
Hot News
Ideologis
Intelektual
IP Camera
Kegiatan
LOWONGAN
Makalah
Monitoring Rumah
MP3
Online Monitoring
Pendidikan
Pengumuman
Photo Unik
Politik Hukum
Potret
Presentasi
Religi
Retorika
rohingya
Sastra
Sosok
teknologi
Tips dan Trik
Tutorial Photoshop
Video
0 komentar for this post
Leave a reply