KKR BUKAN PENGADILAN BARU
Ada pandangan keliru yang melihat KKR sebagai lembaga pengadilan baru. Padahal keduanya jauh berbeda. KKR bukanlah badan peradilan karena tidak berfungsi untuk memvonis pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang. Peran itu tetap di tangan pengadilan. KKR lebih berkonsentrasi pada pencarian pola umum kasus-kasus kejahatan HAM berat dalam kurun waktu tertentu. Selanjutnya KKR memberi rekomendasi kebijakan kepada pemerintah untuk memulihkan demokrasi.
Jelas proses di KKR dan pengadilan merupakan dua strategi yang sangat berbeda. Namun, mereka dapat saling melengkapi, walau sebab perbedaan tujuan dan prosesnya, kadang-kadang keduanya saling bertentangan. Kedua strategi ini sama-sama diperlukan. Pengadilan dibutuhkan untuk melengkapi apa yang tidak dapat dilakukan oleh KKR. Yakni dalam hal mendorong penyelesaian hukum atas kejahatan HAM serta penerapan hukuman. Dengan demikian, pengadilanpun dapat memberi kontribusi kepada ''keadilan transisional'' melalui penuntutan pidana dan pemutusan rantai impunity, serta memberi andil terciptanya kepastian hukum.
Berbeda dengan KKR, pengadilan memiliki keterbatasan --terlebih dalam fase transisi. Dia hanya mampu menangani sejumlah kecil kasus. Begitu pula dalam pengungkapan isu. Penyebabnya, pengadilan membutuhkan biaya besar. Diketahui umum, pengadilan memerlukan penyelidikan yang amat teliti. Untuk memberi contoh pelaksanaan kepastian hukum, mutlak dilalui pemrosesan segera dan penghargaan hak-hak tertuduh. Persoalan muncul ketika si tertuduh adalah seorang penguasa, atau memiliki koneksi kuat.
Di sini penuntut sulit menang karena untuk berhasil dibutuhkan bukti yang sulit dibantah. Masalahnya, pelaku seringkali menghilangkan atau menutup-nutupi fakta. Contohnya, perintah komandan di kalangan militer sering hanya berupa lisan. Mereka pun dengan mudah melukukan intimidasi kepada saksi untuk merusak proses hukum.
Kendala lain berkaitan dengan kemauan politik (political will). Selama masa transisi kesempatan bagi pengusutan pelanggaran HAM memang terbuka. Tapi, biasanya kadarnya berkurang seiring perjalanan waktu. Penentangan dari kalangan yang merasa dirugikan, misalnya militer, akan menguat ketika beberapa anggotanya dihukum.
Kelemahan lain proses pengadilan adalah pemeriksaannya yang terpusat pada tindak pidana suatu kasus. Peradilan hanya mampu mempertimbangkan apakah seseorang melakukan tindak pidana tertentu terhadap korbannya, dengan pembuktian eksak. Tak mengherankan bila pertanyaan yang lebih luas, seperti pola-pola pelanggaran sistematik berikut latarbelakang kejadiannya, sulit diungkap.
Pengadilan pun hanya mampu menangani sedikit korban, terbatas pada korban insiden tertentu yang sedang diproses dari sedikit pelaku kejahatan. Sementara pelanggaran yang dialami sebagian besar korban tak terjangkau.
Biasanya KKR bekerja untuk satu periode tertentu. Waktu yang relatif pendek ini tentu tak cukup untuk menyelidiki semua pelanggaran berat HAM. Karenanya, biasanya KKR berfokus pada beberapa kasus berat, kemudian menjadikannya dasar penilaian umum.
Agaknya, KKR yang akan dibentuk di Indonesia dipaksa oleh keterbatasan tersebut sehingga harus mampu menyeleksi kasus seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan setidaknya setiap daerah akan terwakili dalam penyelidikan KKR.
Jelas banyak yang tak puas dengan metode ini. Tapi waktu mengejar. Bangsa ini tak bisa terus-menerus menangisi masa silam dan mengabaikan masa depan. Nasib anak-cucu generasi sekarang dan mendatang ditentukan oleh kesediaan kita berdamai dengan masa silam.
Jelas proses di KKR dan pengadilan merupakan dua strategi yang sangat berbeda. Namun, mereka dapat saling melengkapi, walau sebab perbedaan tujuan dan prosesnya, kadang-kadang keduanya saling bertentangan. Kedua strategi ini sama-sama diperlukan. Pengadilan dibutuhkan untuk melengkapi apa yang tidak dapat dilakukan oleh KKR. Yakni dalam hal mendorong penyelesaian hukum atas kejahatan HAM serta penerapan hukuman. Dengan demikian, pengadilanpun dapat memberi kontribusi kepada ''keadilan transisional'' melalui penuntutan pidana dan pemutusan rantai impunity, serta memberi andil terciptanya kepastian hukum.
Berbeda dengan KKR, pengadilan memiliki keterbatasan --terlebih dalam fase transisi. Dia hanya mampu menangani sejumlah kecil kasus. Begitu pula dalam pengungkapan isu. Penyebabnya, pengadilan membutuhkan biaya besar. Diketahui umum, pengadilan memerlukan penyelidikan yang amat teliti. Untuk memberi contoh pelaksanaan kepastian hukum, mutlak dilalui pemrosesan segera dan penghargaan hak-hak tertuduh. Persoalan muncul ketika si tertuduh adalah seorang penguasa, atau memiliki koneksi kuat.
Di sini penuntut sulit menang karena untuk berhasil dibutuhkan bukti yang sulit dibantah. Masalahnya, pelaku seringkali menghilangkan atau menutup-nutupi fakta. Contohnya, perintah komandan di kalangan militer sering hanya berupa lisan. Mereka pun dengan mudah melukukan intimidasi kepada saksi untuk merusak proses hukum.
Kendala lain berkaitan dengan kemauan politik (political will). Selama masa transisi kesempatan bagi pengusutan pelanggaran HAM memang terbuka. Tapi, biasanya kadarnya berkurang seiring perjalanan waktu. Penentangan dari kalangan yang merasa dirugikan, misalnya militer, akan menguat ketika beberapa anggotanya dihukum.
Kelemahan lain proses pengadilan adalah pemeriksaannya yang terpusat pada tindak pidana suatu kasus. Peradilan hanya mampu mempertimbangkan apakah seseorang melakukan tindak pidana tertentu terhadap korbannya, dengan pembuktian eksak. Tak mengherankan bila pertanyaan yang lebih luas, seperti pola-pola pelanggaran sistematik berikut latarbelakang kejadiannya, sulit diungkap.
Pengadilan pun hanya mampu menangani sedikit korban, terbatas pada korban insiden tertentu yang sedang diproses dari sedikit pelaku kejahatan. Sementara pelanggaran yang dialami sebagian besar korban tak terjangkau.
Biasanya KKR bekerja untuk satu periode tertentu. Waktu yang relatif pendek ini tentu tak cukup untuk menyelidiki semua pelanggaran berat HAM. Karenanya, biasanya KKR berfokus pada beberapa kasus berat, kemudian menjadikannya dasar penilaian umum.
Agaknya, KKR yang akan dibentuk di Indonesia dipaksa oleh keterbatasan tersebut sehingga harus mampu menyeleksi kasus seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan setidaknya setiap daerah akan terwakili dalam penyelidikan KKR.
Jelas banyak yang tak puas dengan metode ini. Tapi waktu mengejar. Bangsa ini tak bisa terus-menerus menangisi masa silam dan mengabaikan masa depan. Nasib anak-cucu generasi sekarang dan mendatang ditentukan oleh kesediaan kita berdamai dengan masa silam.
Sumber : http://elsam.minihub.org/kkr/bkn-pengadilan.html
Posted in
Artikel
Tulisan Terkait :
Popular Posts
-
MP3 Muslim Entreprener Forum 2012 MEF Ust Heru Binawan [Sambutan DPP HTI] [2 MB] MEF Talk Show Bpk Iskandar Zulkarnain [5 MB] MEF Bala...
-
(Minaut = Pemecahan Persoalan dan Pengambilan Keputusan) Pengantar Dalam menjalankan tugasnya sehari...
-
Oleh : Musryadanta Inilah fakta yang terlihat di kotaku tercinta, dimana pengemis dan anak telantar seolah-olah dilegalkan oleh pemeri...
Recent
Connect with Facebook
Sponsors
Search
Categories
Analisis
Artikel
Berita
Budaya
Catatan Facebook
CCTV
Daerah
download Materi
Gambar Unik
Hot News
Ideologis
Intelektual
IP Camera
Kegiatan
LOWONGAN
Makalah
Monitoring Rumah
MP3
Online Monitoring
Pendidikan
Pengumuman
Photo Unik
Politik Hukum
Potret
Presentasi
Religi
Retorika
rohingya
Sastra
Sosok
teknologi
Tips dan Trik
Tutorial Photoshop
Video
0 komentar for this post
Leave a reply