Terbaru
Recent Articles

BUKAN KOMISI PENGAMPUNAN DOSA

Karena memuat soal amnesti, RUU KKR sempat menuai kritik. Sebagian pihak bahkan apriori terhadap upaya mewujudkan KKR. Padahal KKR sama sekali tak dirancang menjadi lembaga impunitas.

Inilah lembaga impunitas (melindungi pelaku kejahatan) baru, bernama: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Begitulah sorotan tajam beberapa pihak. Bukan perorangan saja yang menyodok KKR dengan penilaian seperti itu. The International Center for Transitional Justice melayangkan kritik yang sama pedasnya. Di mata LSM yang berpusat di New York ini, KKR Indonesia akan menjadi lembaga impunity karena memberikan amnesti, seperti tertuang dalam RUU-nya.

     
  Tiga Syarat Amnesti
Jose Zalaquett, mantan pengacara HAM Amnesti Internasional mengajukan tiga syarat pemberian amnesti pada pelaku kejahatan berat HAM. Yakni:
1. Kebenaran harus terlebih dahulu ditegakkan.
2. Amnesti tidak diberikan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dan genosida (genocide).
3. Amnesti harus sesuai dengan ''keinginan'' rakyat.

Berdasar kerangka itu, amnesti yang bersifat ''self-amnesty'' --yakni amnesti yang diberikan kepada aparat negara, misalnya militer atau polisi, tidak dibenarkan. ''Self-amnesty'' harus ditolak, karena memungkinkan negara mengadili sendiri kasusnya. Bila ini terjadi berarti melanggar prinsip ''no one can be judge in his own suit''.

Pelanggaran itu terjadi di Argentina, Chili, El Salvador, Brazil, Guatemala, Honduras, dan Uruguay. Amnesti diberikan kepada anggota militer oleh rezim militer sendiri.

***
 
     

Mendapat sorotan tersebut, Ketua Tim Perumus RUU KKR Prof Dr Romli Asmasasmita SH membantahnya. Meski berbeda dengan Komnas HAM yang penyelidikannya bersifat pro yustisia, dasar gerak KKR memang pada pertemuan pemikiran antara pelaku dan korban. Namun, tukas Romli, pembahasan di KKR tidak semudah ishlah. ''Penyataan itu salah,'' komentar ahli hukum internasional dari Universitas Padjajaran ini.

Entah bagaimana kemunculan penilaian dimaksud. Jelas dalam konstitusi bahwa pemberian amnesti, rehabilitasi, abolisi adalah hak prerogatif Presiden. KKR dalam hal ini hanya memberi pertimbangan kepada presiden, yang tidak mengikat. Berarti Presiden bisa menolak. ''Komisi hanya memberikan nama-nama pelaku yang dianggap layak diberi amnesti yang kemudian direkomendasikan kepada presiden. Selanjutnya hak presiden untuk memberi amnesti atau tidak,'' lanjut Romli.

Abdul Hakim Garuda Nusantara, SH, LLM yang mantan direktur ELSAM mengutarakan penegasan senada. Menurutnya, amnesti adalah pengampunan yang diberikan kepada kelompok orang berdasarkan asas keadilan kepentingan umum. ''Yang memberikan amnesti adalah presiden. KKR hanya memberikan pertimbangan hukum kepada presiden,'' ujarnya. Ia menolak komisi ini akan menjustifikasi pelanggaran HAM. ''Itu salah, seolah-olah komisi ini seperti menjual surat pengampunan dosa. Komisi ini justru mengungkapkan kebenaran sebuah peristiwa.''

Secara historis amnesti bak ''fosil hidup''. Ia peninggalan zaman ketika seorang raja yang maha perkasa mempunyai kekuasaan untuk menghukum dan mengurangi sanksi senagi tindakan kemurahan hati. Kini, amnesti berkembang menjadi sebuah ''alat'' politik praktis. Misalnya, digunakan demi kepentingan mengamankan konsolidasi demokratik dan stabilitas masa depan pemerintahan yang baru merangkak dari kubangan otoritarian atau totaliter. Meski begitu, amnesti harus disesuaikan dengan aturan hukum yang berlaku.

Kata 'Amnesti' sendiri berasal dari bahasa Yunani, 'amnestia' yang berarti 'melupakan atau suatu tindakan melupakan'. Berdasar beberapa pendapat ahli hukum dapat digarisbawahi bahwa amnesti merupakan kewenangan yang berada di tangan pemegang kekuasaan negara (presiden) untuk membebaskan tanggungjawab pidana seseorang yang melakukan pelanggaran hukum. Tetapi, kewenangan ini tidak diterapkan bagi aparatnya sendiri, karena membuka peluang negara mengadili sendiri kasusnya. Di samping itu, orang yang mendapat amnesti tidak dapat lagi dituntut secara perdata --misalnya oleh sanak-keluarga korban. Alasannya, tanggungjawabnya sudah diambil alih negara.

Hakim menambahkan, amnesti sebagai jalan keluar ketika proses formal tidak bisa diberikan akibat kondisi objektif 'perangkat hukum transisi'. Kasusnya pun bervariasi. Sedangkan proses menuju permohonan amnesti tidaklah mudah, sebab melewati pembahasan dan perdebatan. Kalau presiden tidak memberi amnesti berarti kasusnya harus ke pengadilan HAM ad hoc.

Bila instrumen hukum amnesti dipilih, maka pertanyaannya sekarang adalah seberapa jauh kesesuaiannya (compatibility) dengan hukum internasional. Bukankah pemberian amnesti oleh negara kepada aparatnya sendiri pada dasarnya berwujud pengingkaran terhadap prinsip tanggungjawab negara berdasarkan hukum internasional?

Hukum HAM internasional secara tegas membebankan kewajiban kepada negara melakukan pengusutan dan penghukuman terhadap pelanggar berat HAM. Hal ini bukan saja datang bukan saja digariskan oleh perjanjian-perjanjian multilateral HAM, namun juga berasal dari hukum kebiasaan internasional. Kewajiban ini bersifat imperatif terhadap negara-negara; negara wajib melaksanakannya.

Di sini terlihat jelas tidak terjadi kompatibilitas antara kewajiban yang dipikul hukum internasional dengan kebijakan pemberian amnesti. Tak mengherankan bila badan-badan HAM PBB mengecam sederet panjang pemberian amnesti, termasuk yang dikeluarkan pemerintahan transisi.

Apakah kewajiban internasional dimaksud harus selalu dipahami demikian? Jose Zalaquette, bekas pengacara HAM Amnesti Internasional berkebangsaan Chili, mengemukakan ketidaksetujuannya pada pandangan tersebut. Dia tidak sependapat dengan pemberlakuan kewajiban internasional secara kaku.

Menurut Zalaquett, secara prinsip pendekatan itu benar --sejauh berdasar kecenderungan bahwa setiap langkah yang bertujuan mencairkan tanggungjawab negara dapat memperlemah perlindungan HAM dan hukum internasional. Namun, ia mengingatkan, penetapan standar terlalu kaku dan tidak praktis, dapat merusak hukum internasioanl sendiri.

''Dalam situasi transisi, pemerintah seringkali tidak memiliki kekuatan dalam melaksanakan banyak kewajiban positif.... Haruskah pemerintah berusaha melaksanakan kewajiban itu dengan menanggung risiko ditumbangkan oleh pihak-pihak yang tanggungjawabnya sedang diselidiki?'' tulis Pepa, sapaan akrab Zalaquett, dalam sebuah makalahnya yang diterbitkan Aspen Institute (State Crime: Punishment or Pardon, 1989)

''Toleransi'' khusus kepada suatu negara, khususnya yang berada di tengah dilema transisi, dapat diposisikan dalam konteks ''public emergency'' --sebagaimana diatur pasal 4 Persetujuan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Negara yang sedang menghadapi emergency dibolehkan melakukan pengurangan (derogation) sebagian kewajiban internasionalnya. Singkatnya, pemberian amnesti tidak harus selalu dipandang sebagai kebijakan yang inkonsisten dengan hukum internasional.


Pengalaman Afrika Selatan

KKR Afrika Selatan melahirkan aturan pemberian amnesti dari hasil negosiasi politik yang alot antara kekuatan politik Apartheid dengan anti-Apartheid. Kekuatan politik Apartheid bersedia memuluskan perjalanan transisi ke demokrasi jika mereka diberi garansi tidak digelandang ke pengadilan.

Begitulah realitas yang dihadapi KKR Afsel. Pencermatan terdapatnya membawa KKR Mandela mengawinkan pemberian amnesti dengan proses penemuan kebenaran dan pemberian kompensasi pada korban. Inilah yang membedakan KKR Afsel dengan Chili.

Di Afsel, pemberian amnesti berdasar kemauan pelaku (secara individual) mengakui perbuatannya secara jujur. Bukan dengan pendekatan kolektif, tanpa pengakuan individual dari si pelaku (blanket amnesty) --seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Latin.

Pada kasus Afsel, mereka yang dapat mengajukan amnesti terbatas:

(1) anggota suatu organisasi politik yang telah dikenal secara umum atau anggota gerakan pembebasan;
(2) pegawai atau anggota pasukan keamanan negara yang mencoba membalas atau melawan perjuangan suatu partai politik atau gerakan pembebasan;
(3) pegawai atau anggota pasukan keamanan negara yang terlibat dalam suatu pergulatan politik melawan negara (atau bekas negara); dan
(4) setiap orang yang terlibat dalam usaha kudeta atau percobaan kudeta. Jadi, hanya orang-orang yang memiliki motif folitik saja yang dipertimbangkan mendapat amnesti. Pelaku kriminal sama sekali tidak menjadi urusan KKR.

Penggodokan amnesti di dapur Komite Amnesti. Ribuan permohonan amnesti di terima Komite. Sebagian besar ditolak karena alasan administratif. Mereka yang permohonannya lolos pemeriksaan administrasi akan menjalanin pemeriksaan untuk menguji kebenaran pengakuannya.

Khusus bagi mereka yang dikategorikan melakukan pelanggaran berat HAM, pemeriksaan dilakukan secara terbuka melalui panel dengar pendapat (public hearing). Pesertanya paling tidak tiga orang anggota, dipimpin hakim pengadilan tinggi. Prosedurnya sangat yudisial. Bukti-bukti pernyataan diperlakukan sebagai subyek untuk pembuktian timbal-balik. Semua pihak yang dianggap terlibat diundang untuk hadir dan berpartisipasi dalam panel yang terbuka bagi publik dan media massa. Dalam beberapa kasus tertentu, KKR menyediakan bantuan hukum.

Keputusan Komite Konstitusi berdasar suara mayoritas panel, dan diumumkan kepada publik. Terhadap keputusan Komite, tidak tersedia mekanisme banding. Namun, keputusan amnesti dapat ditantang melalui Mahkamah Konstitusi. Korban atau keluarganya yang tidak puas terhadap keputusan amnesti dapat menantang konstitusionalitas suatu undang-undang dengan mempertanyakan kompatibilitas undang-undang tersebut (UU Komisi Kebenaran) dengan hukum internasional.

Menurut catatan Nicholas Haysom, penasihat hukum Nelson Mandela selama menjabat presiden (1994-1999), sekitar 10 ribu orang di Afsel memperoleh amnesti. Mereka pelanggar HAM dari warga kulit putih maupun hitam. Ketika Presiden Abdurrahman Wahid berkunjung ke Afsel, wartawan Indonesia mewawancarai profesor hukum itu. Apakah sistem hukum di Indonesia memadai untuk pemberian amnesti, Fink --begitu ia kerap disapa-- tidak menjawab secara langsung. ''Saya tidak tidak tahu persis sistem hukum Indonesia. Yang saya mengerti adalah konstitusi Indonesia dianggap terlalu singkat untuk menjawab begitu banyak pertanyaan. Jadi terlalu banyak ruang untuk manipulasi,'' nilainya.

Wartawan kembali bertanya, perlukah konstusi diubah? Fink menegaskan, kalaupun diperoleh konstitusi yang mendekati sempurna, belum menjadi jaminan untuk membawa perubahan. Karenanya, dalam konteks pemberian amnesti menuju rekonsiliasi, dibutuhkan KKR sebagai institusi pelaksana yang sesuai dengan budaya politik Indonesia.

Sumber :  http://elsam.minihub.org/kkr/bkn-pdosa.html
Share and Enjoy:

0 komentar for this post

Leave a reply

We will keep You Updated...
Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!
Subscribe via RSS Feed subscribe to feeds
Sponsors
Template By SpicyTrickS.comSpicytricks.comspicytricks.com
Template By SpicyTrickS.comspicytricks.comSpicytricks.com
Popular Posts
Recent
Connect with Facebook
Sponsors
Blog Archives
Recent Comments
Tag Cloud