"Ogoh-ogoh", Wahana Menuju Keinsyahan Manusia
Denpasar - Menjelang Hari Suci Penyepian, peristiwa dan prosesinya nyaris mirip dari tahun ke tahun, yaitu tiap banjar (pemangkuan adat setingkat kelurahan) di Bali berlomba-lomba membuat "ogoh-ogoh" sebaik dan semenarik mungkin. Kalau bisa lebih berseni, rumit, dan lebih mutakhir, maka "ogoh-ogoh" itu diharapkan bisa menaikkan martabat banjar yang membuatnya.
Pada tahun ini, Hari Suci Penyepian akan tiba pada 16 Maret nanti, sebagai tanda Tahun Baru Saka 1932 dimulai. Layaknya perayaan agama yang bersisian dengan keriaan penganutnya, maka umat Hindhu Dharma juga bersuka-ria menyambut kehadiran tahun baru itu dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan dilakukan selama ini.
Demikianlah, "ogoh-ogoh" menjadi satu ikon ritual yang sangat penting dalam ritual perayaan Nyepi. Dia akan diarak ke berbagai penjuru banjar, kota, dan bahkan kawasan, sebagai perlambang kehadiran alias personifikasi pribadi Sang Bhuta Kala dalam alam mayapada ini.
Dalam kepercayaan Hindu Dharma, "ogoh-ogoh" adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala itu, yang merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.
Secara penampakannya, perwujudan patung Bhuta Kala itu sering digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan, biasanya dalam wujud "rakshasa" alias raksasa. Selain wujud itu, "ogoh-ogoh" sering pula digambarkan sebagai makhluk-makhluk yang hidup di mayapada, surga dan neraka, di antaranya naga, gajah, garuda, widyadari, bahkan dewa.
Raksasa atau "rakshasa" alias iblis adalah bangsa pemakan daging manusia atau kadang-kadang sebagai bangsa kanibal dan dilukiskan dalam Yakshagana, sebuah seni populer dari Karnataka. Mitologi Hindu dan Buddha menyatakan, kata "raksasa" berarti kekejaman, lawan kata dari "raksha" atau kesentosaan.
Agaknya mustahil jika membahas kekayaan budaya dan religi Bali tanpa membahas kitab Ramayana dan Mahabharata atau syair suci Bhagawwatgitta. Kitab Ramayana menguraikan, "raksasa" diciptakan dari kaki Dewa Brahma. Di lain kisah, mereka muncul dari tokoh Pulastya, Khasa, Nirriti dan Nirrita.
Dewa Brahma juga dikatakan pernah memberikan berkah kepada rakshasa yang memujanya, di antaranya Wibisana, Hiranyaksa, dan Hiranyakasipu. "Rakshasa" terkenal karena kejahatannya, kuku mereka beracun, dan mereka makan daging manusia atau makanan hasil rampasan, dan juga memiliki ilmu gaib serta mampu mengubah wujud menjadi manusia atau burung besar.
Namun, tidak selamanya raksasa berwujud seperti itu. Beberapa orang lahir dengan tubuh dan rupa manusia namun memiliki jiwa jahat selayaknya rakshasa, seperti di antaranya Kamsa, Duryudana, Dursasana, Jarasanda, Sisupala, yang semuanya adalah tokoh dalam kisah Mahabharata.
Memang seolah manusia Bali itu diciptakan Tuhan Yang Maha Esa dengan kreativitas seni sangat prima, maka pada masa kini "ogoh-ogoh" itu dikembangkan dan dielaborasikan dalam rupa dan konteks peristiwa aktual masa kini. Tidak heran jika kemudian Michael Jackson, raksasa seram menunggangi motor besar Harley-Davidson, dan bahkan teroris juga dijadikan "ogoh-ogoh".
Dalam fungsi utamanya, "ogoh-ogoh" sebagai representasi Bhuta Kala, dibuat menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling desa pada senja hari "pengerupukan", yaitu sehari sebelum Hari Suci Penyepian. Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat.
Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran.
Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.
Nyepi
Hari Suci Penyepian adalah hari raya umat Hindu Dharma yang dirayakan setiap Tahun Baru Saka. Hari suci ini jatuh pada hitungan "tilem kesanga", yang dipercayai hari penyucian dewa-dewa di pusat samudera, yang membawa intisari "amerta" air hidup, sehingga umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi sebagai bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar, adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia) dan Buwana Agung (alam semesta). Hari Suci Nyepi tidak bisa lepas dari ritual "tawur" atau "pecaruan", "pengerupukan", dan "melasti".
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga", umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis "caru" (semacam sesajian) menurut kemampuannya.
Buta Yadnya itu masing-masing bernama "panca sata" (kecil), "panca sanak" (sedang), dan "tawur agung" (besar). "Tawur" atau "pecaruan" itu sendiri merupakan penyucian atau "pemarisuda" Bhuta Kala, dan segala "leteh" (kekotoran) diharapkan sirna semuanya.
Ritual "mecaru" diikuti upacara "pengerupukan", yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, menyalakan obor di rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja hingga bersuara ramai alias gaduh.
Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, "pengerupukan" biasanya dimeriahkan dengan pawai "ogoh-ogoh", yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan dan kemudian dibakar.
Jika pada Hari Suci Nyepi suasananya sepi sama-sekali, maka pada "pengerupukan", keramaian melebihi pasar malam. "Ogoh-ogoh" menjadi satu hal nyata yang dinantikan kehadirannya oleh setiap orang, tidak saja sebagai benda seni namun juga sebagai benda religi dan tradisi. Tujuan pengarakan "ogoh-ogoh" itu sama, yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.
Tahap terakhir Nyepi adalah "melasti", yaitu menghanyutkan segala "leteh" ke laut, serta menyucikan "pratima" (benda suci di dalam pura). Upacara di laut ini dikarenakan laut dianggap sumber amerta, dan selambat-lambatnya pada tilem sore, "melasti" itu harus selesai.
Keesokan harinya, yaitu pada "panglong ping 15" atau "tilem Kesanga", tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut "Catur Brata Penyepian" yang terdiri dari "amati geni" (tidak menyalakan api), "amati karya" (tidak bekerja), "amati lelungan" (tidak bepergian), dan "amati lelanguan" (tidak mendengarkan hiburan).
"Brata" ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit, karena diyakini segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Intisari dari perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), menurut lontar "Sundari Gama" adalah untuk memutihbersihkan hati sanubari, yang merupakan kewajiban bagi umat Hindu.
Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari "ngembak geni" yang jatuh pada tanggal "ping pisan" atau "sasih kedasa". Pada hari inilah Tahun Baru Saka tersebut dimulai, saat umat Hindu Dharma bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf-memaafkan satu sama lain.
Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Saka berakhir pada "panglong ping limolas sasih kedasa", dan tahun barunya dimulai tanggal 1 "sasih kedasa".
Pada tahun ini, Hari Suci Penyepian akan tiba pada 16 Maret nanti, sebagai tanda Tahun Baru Saka 1932 dimulai. Layaknya perayaan agama yang bersisian dengan keriaan penganutnya, maka umat Hindhu Dharma juga bersuka-ria menyambut kehadiran tahun baru itu dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan dilakukan selama ini.
Demikianlah, "ogoh-ogoh" menjadi satu ikon ritual yang sangat penting dalam ritual perayaan Nyepi. Dia akan diarak ke berbagai penjuru banjar, kota, dan bahkan kawasan, sebagai perlambang kehadiran alias personifikasi pribadi Sang Bhuta Kala dalam alam mayapada ini.
Dalam kepercayaan Hindu Dharma, "ogoh-ogoh" adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala itu, yang merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.
Secara penampakannya, perwujudan patung Bhuta Kala itu sering digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan, biasanya dalam wujud "rakshasa" alias raksasa. Selain wujud itu, "ogoh-ogoh" sering pula digambarkan sebagai makhluk-makhluk yang hidup di mayapada, surga dan neraka, di antaranya naga, gajah, garuda, widyadari, bahkan dewa.
Raksasa atau "rakshasa" alias iblis adalah bangsa pemakan daging manusia atau kadang-kadang sebagai bangsa kanibal dan dilukiskan dalam Yakshagana, sebuah seni populer dari Karnataka. Mitologi Hindu dan Buddha menyatakan, kata "raksasa" berarti kekejaman, lawan kata dari "raksha" atau kesentosaan.
Agaknya mustahil jika membahas kekayaan budaya dan religi Bali tanpa membahas kitab Ramayana dan Mahabharata atau syair suci Bhagawwatgitta. Kitab Ramayana menguraikan, "raksasa" diciptakan dari kaki Dewa Brahma. Di lain kisah, mereka muncul dari tokoh Pulastya, Khasa, Nirriti dan Nirrita.
Dewa Brahma juga dikatakan pernah memberikan berkah kepada rakshasa yang memujanya, di antaranya Wibisana, Hiranyaksa, dan Hiranyakasipu. "Rakshasa" terkenal karena kejahatannya, kuku mereka beracun, dan mereka makan daging manusia atau makanan hasil rampasan, dan juga memiliki ilmu gaib serta mampu mengubah wujud menjadi manusia atau burung besar.
Namun, tidak selamanya raksasa berwujud seperti itu. Beberapa orang lahir dengan tubuh dan rupa manusia namun memiliki jiwa jahat selayaknya rakshasa, seperti di antaranya Kamsa, Duryudana, Dursasana, Jarasanda, Sisupala, yang semuanya adalah tokoh dalam kisah Mahabharata.
Memang seolah manusia Bali itu diciptakan Tuhan Yang Maha Esa dengan kreativitas seni sangat prima, maka pada masa kini "ogoh-ogoh" itu dikembangkan dan dielaborasikan dalam rupa dan konteks peristiwa aktual masa kini. Tidak heran jika kemudian Michael Jackson, raksasa seram menunggangi motor besar Harley-Davidson, dan bahkan teroris juga dijadikan "ogoh-ogoh".
Dalam fungsi utamanya, "ogoh-ogoh" sebagai representasi Bhuta Kala, dibuat menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai keliling desa pada senja hari "pengerupukan", yaitu sehari sebelum Hari Suci Penyepian. Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat.
Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran.
Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.
Nyepi
Hari Suci Penyepian adalah hari raya umat Hindu Dharma yang dirayakan setiap Tahun Baru Saka. Hari suci ini jatuh pada hitungan "tilem kesanga", yang dipercayai hari penyucian dewa-dewa di pusat samudera, yang membawa intisari "amerta" air hidup, sehingga umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi sebagai bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar, adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia) dan Buwana Agung (alam semesta). Hari Suci Nyepi tidak bisa lepas dari ritual "tawur" atau "pecaruan", "pengerupukan", dan "melasti".
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga", umat Hindu melaksanakan upacara Bhuta Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis "caru" (semacam sesajian) menurut kemampuannya.
Buta Yadnya itu masing-masing bernama "panca sata" (kecil), "panca sanak" (sedang), dan "tawur agung" (besar). "Tawur" atau "pecaruan" itu sendiri merupakan penyucian atau "pemarisuda" Bhuta Kala, dan segala "leteh" (kekotoran) diharapkan sirna semuanya.
Ritual "mecaru" diikuti upacara "pengerupukan", yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, menyalakan obor di rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja hingga bersuara ramai alias gaduh.
Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, "pengerupukan" biasanya dimeriahkan dengan pawai "ogoh-ogoh", yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan dan kemudian dibakar.
Jika pada Hari Suci Nyepi suasananya sepi sama-sekali, maka pada "pengerupukan", keramaian melebihi pasar malam. "Ogoh-ogoh" menjadi satu hal nyata yang dinantikan kehadirannya oleh setiap orang, tidak saja sebagai benda seni namun juga sebagai benda religi dan tradisi. Tujuan pengarakan "ogoh-ogoh" itu sama, yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.
Tahap terakhir Nyepi adalah "melasti", yaitu menghanyutkan segala "leteh" ke laut, serta menyucikan "pratima" (benda suci di dalam pura). Upacara di laut ini dikarenakan laut dianggap sumber amerta, dan selambat-lambatnya pada tilem sore, "melasti" itu harus selesai.
Keesokan harinya, yaitu pada "panglong ping 15" atau "tilem Kesanga", tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut "Catur Brata Penyepian" yang terdiri dari "amati geni" (tidak menyalakan api), "amati karya" (tidak bekerja), "amati lelungan" (tidak bepergian), dan "amati lelanguan" (tidak mendengarkan hiburan).
"Brata" ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit, karena diyakini segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Intisari dari perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), menurut lontar "Sundari Gama" adalah untuk memutihbersihkan hati sanubari, yang merupakan kewajiban bagi umat Hindu.
Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari "ngembak geni" yang jatuh pada tanggal "ping pisan" atau "sasih kedasa". Pada hari inilah Tahun Baru Saka tersebut dimulai, saat umat Hindu Dharma bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf-memaafkan satu sama lain.
Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Saka berakhir pada "panglong ping limolas sasih kedasa", dan tahun barunya dimulai tanggal 1 "sasih kedasa".
Sumber : www.antaranews.com
Posted in
Budaya
Tulisan Terkait :
Popular Posts
-
MP3 Muslim Entreprener Forum 2012 MEF Ust Heru Binawan [Sambutan DPP HTI] [2 MB] MEF Talk Show Bpk Iskandar Zulkarnain [5 MB] MEF Bala...
-
(Minaut = Pemecahan Persoalan dan Pengambilan Keputusan) Pengantar Dalam menjalankan tugasnya sehari...
-
Oleh : Musryadanta Inilah fakta yang terlihat di kotaku tercinta, dimana pengemis dan anak telantar seolah-olah dilegalkan oleh pemeri...
Recent
Connect with Facebook
Sponsors
Search
Categories
Analisis
Artikel
Berita
Budaya
Catatan Facebook
CCTV
Daerah
download Materi
Gambar Unik
Hot News
Ideologis
Intelektual
IP Camera
Kegiatan
LOWONGAN
Makalah
Monitoring Rumah
MP3
Online Monitoring
Pendidikan
Pengumuman
Photo Unik
Politik Hukum
Potret
Presentasi
Religi
Retorika
rohingya
Sastra
Sosok
teknologi
Tips dan Trik
Tutorial Photoshop
Video
0 komentar for this post
Leave a reply