Terbaru
Recent Articles

Menyoal Nasib Anak Jalanan

Oleh : Harry Veryanto Sihite
P emandangan anak-anak jalanan di kota besar sudah tidak asing lagi, dimana di keseharian mereka selalu berada dijalanan dan berbaur dengan kerasnya kehidupan jalanan. 

Pemandangan yang sudah sangat biasa dimana mereka berhamburan menghampiri para pengendara yang berhenti pada saat lampu merah, hal itu tidak lain untuk meminta belas kasihan dari orang-orang yang sedang melintas tersebut. 

Suatu pemandangan yang sebenarnya boleh dikatakan unik, dimana ketika anak-anak tersebut menjulurkan tangan sambil mengelus elus perut sebuah isyarat yang menandakan mereka sedang lapar. Ada juga kegiatan anak jalanan yang seolah olah menjual jasanya kepada pengguna jalan yaitu membersihkan atau mengelap kaca mobil bagi mereka pengendara mobil. 

Pemandangan lain terlihat dimana anak-anak tersebut mengamen seolah-olah menjual suara mereka yang semuanya itu pada ujungnya mengharapkan belas kasihan dari orang-orang. Pengendara yang merasa kasihan akan merogoh kantongnya dan memberikan sejumlah uang kepada anak-anak tersebut, namun tidak jarang juga pengendara yang cuek dengan keadaan tersebut, diam tidak memberi apa-apa dan melaju kembali ketika lampu hijau menyala. Begitulah kegiatan anak-anak yang tidak beruntung tersebut menunggu lampu merah menyala kembali. 

Variasi umur anak-anak jalanan itu juga bermacam macam, mulai dari yang masih balita (5 tahun) sampai yang sudah beranjak dewasa. Desakan kebutuhan ekonomi rupanya tidak memandang usia. Memang sungguh nasib yang sangat malang, berbeda dengan anak-anak yang hidup wajar lainnya, dimana anak jalanan balita tersebut seharusnya masih dalam pangkuan orang tuanya dan selayaknya mendapat kasih sayang, pendidikan, perhatian khusus dan gizi yang layak. 

Akan tetapi malah sebaliknya, mereka harus berjuang untuk melawan kerasnya kehidupan dan tekanan ekonomi yang semakin menjadi-jadi, semua itu dilakukan untuk menghidupi dirinya sendiri dan bahkan menghidupi keluarga-keluarganya. 

Jumlah dan kondisi anak jalanan di Indonesia sangat memprihatinkan dimana jumlah mereka sudah sangat tidak sedikit dan membuat resah sebagian orang. Seperti di lansir Kompas Edisi 20 Januari 2010, jumlah anak jalanan meningkat 50 persen, dimana pada tahun 2008 sebelumnya anak jalanan tersebut masih berjumlah 8000 orang, namun pada tahun 2009 jumlah mereka mencapai lebih dari 12.000 orang. 

Lebih mengejutkan survey tersebut hanya masih pada wilayah DKI Jakarta saja. Sungguh angka yang sangat fantastis bukan? Mengapa tidak jumlah penduduk 12.000 jiwa sudah setara dengan jumlah penduduk pada satu atau lebih Desa atau kelurahan. Survey lain mengatakan jumlah anak jalanan di puluhan kota besar di Indonesia mencapai 300.000 orang atau dapat disetarakan dengan jumlah penduduk dilebih dari satu kecamatan.

Konsep dan pola kehidupan anak jalanan ini juga berbeda beda, namun jelasnya mempunyai satu tujuan yang sama yaitu untuk kegiatan ekonomi. Ada anak jalanan yang masih hidup bersama orang tuanya atau masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya dan anggota keluarganya. Biasanya anak seperti ini adalah anak yang di manfaatkan orang tuanya untuk membantu mencari nafkah demi untuk menyambung hidup. Setelah tiba waktunya anak ini akan pulang kerumah, memberi penghasilannya dan kembali berbaur dengan keluarganya. 

Namun ada juga anak jalanan yang hidupnya dihabiskan di jalanan, mencari nafkah dijalanan, hidup sendiri atau memilih tidak hidup dengan keluarganya dan bahkan sampai makan dan tidur sekalipun dia dijalanan. Kerasnya hidup dan tekanan kebutuhan membuat mereka semakin terpuruk dan tidak berdaya.

Dampak yang sangat mengkhawatirkan bilamana anak-anak jalanan tersebut dibiarkan mengemis, meminta belas kasihan dari orang secara terus menerus, maka kelak anak-anak tersebut akan menjadi sampah masyarakat. Sampah yang tidak diperhitungkan akan tetapi di takuti sebagai momok yang ganas dan buas. Mereka ditakuti karena bawaan dan tingkahlaku mereka yang tidak wajar. 

Pada umumnya proses social yang salah akan mengakibatkan pembentukan karakter yang salah juga. Krisis moral dan kepribadian merupakan produk dari proses social yang salah. Si anak akan hidup tanpa moral dan kepribadian yang terpecah. Selama ini mereka telah di didik oleh kerasnya kehidupan jalanan, jadi untuk kemudiannya mereka juga akan hidup menjadi manusia yang tidak bermoral, berkarakter lazimnya binatang.

Kelak untuk menyambung hidupnya mereka akan berbuat apa saja dan menghalalkan semua cara. Mulai dari mencuri, merampok, menjambret dan bahkan membunuh sekalipun akan mereka lakukan demi sejengkal perut yang harus mereka isi nantinya. Jadi dapat disimpulkan kehidupan jalanan akan mendidik anak jalanan menjadi seorang penjahat dan kelak akan menjadi musuh masyarakat.

Belum lagi perlakuan negative terhadap anak jalanan, perlakuan oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki hati nurani. Banyak anak jalanan yang mengalami kekerasan baik kekerasan seksual, kekerasan fisik sampai-sampai mengakibatkan kematian. Misalnya saja kasus Baekuni alias bungkih alias Babe, yaitu kasus pembunuhan disertai sodomi dan mutilasi terhadap anak anak jalanan, Babe menyodomi korbannya kemudian membunuhnya bahkan ada juga korban yang dimutilasi.

Berdasarkan hasil penyidikan terakhir korban Babe sudah mencapai 14 orang, dimana semuanya dikubur atau dibuangnya secara sembarang. Kejahatan tersebut mungkin hanya merupakan salah satu dari kejahatan besar yang terbongkar. Kita tidak tahu kejahatan-kejahatan besar lainnya yang masih belum terbongkar. Banyak argument tentang kasus babe tersebut bahkan kasus tersebut adalah kasus paling mengerikan di Indonesia.

Tanggung Jawab Negara
Semua gambaran tersebut sangat memprihatinkan dan terdengar sangat memalukan. Kurangnya perhatian pemerintah adalah factor dari semua itu, amanah Undang-undang Dasar (UUD) khususnya pasal 34 ayat 1 yang menyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Melihat amanah pasal 34 ayat 1 UUD 1945 menunjukkan bahwa pemerintahlah satu-satunya yang paling bertanggung jawab terhadap penanganan anak jalanan tersebut. Anak jalanan di identikkan bahkan sama dengan fakir miskin dan anak terlantar. 

Dikatakan fakir miskin karena mereka memang hidup dari keluarga yang sangat miskin tidak berkecukupan dan hidup menderita. Layak dikatakan anak terlantar yang terlihat dari keseharian mereka dimana anak-anak tersebut sama sekali tidak mendapat perhatian dari orang tuanya, mereka di terlantarkan dan dibiarkan berjibaku mencari kehidupan di alam bebas tanpa memperhitungkan bahaya dan dampak terhadap masa depan si anak.

Untuk itu kepada pemerintah yang harus dibenahi sebelum mengurusi masalah anak jalanan adalah harus terlebih dahulu memperbaiki perekonomian bangsa ini. Bilamana perekonomian kita sudah lebih baik, maka fenomena anak jalanan tersebut lama kelamaan akan berangsur-angsur hilang. Perlu kita ketahui dan pikirkan bersama bahwa jangan sampai masa depan dan cita-cita mereka pupus sebelum bersemi.***

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen.

Sumber : www.analisadaily.com
Share and Enjoy:

0 komentar for this post

Leave a reply

We will keep You Updated...
Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!
Subscribe via RSS Feed subscribe to feeds
Sponsors
Template By SpicyTrickS.comSpicytricks.comspicytricks.com
Template By SpicyTrickS.comspicytricks.comSpicytricks.com
Popular Posts
Recent
Connect with Facebook
Sponsors
Blog Archives
Recent Comments
Tag Cloud