KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan sebuah komisi yang diharapkan dapat menjadi alternatif jawaban atas persoalan pelanggaran HAM masa silam
Pengantar:
ANTARA MASA SILAM DAN MASA DEPAN
Bagaimana jalan terbaik menyelesaikan kasus pelanggaran HAM? Satu pertanyaan ini mengundang belasan jawaban sekaligus perdebatan. Melalui berbagai bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sejumlah negara berhasil mengurai benang kusut masa lalunya. Bagaimana di Indonesia?
Invasi Amerika Serikat ke Afghanistan yang merenggut ratusan nyawa penduduk sipil --termasuk anak-anak, tampaknya untuk sementara mengalihkan perhatian kita pada beberapa persoalan akut bangsa. Ancaman disintegrasi di Aceh dan Papua, serta konflik di Maluku nyaris terlupakan. Bahkan, Majelis Permusyawatan Rakyat yang menggelar Sidang Tahunan belum lama ini lebih memilih ''tawuran'' sesama anggota daripada membahas aspek krusial bangsa tersebut.
Padahal, ancaman itu amat riil karena ketika tuntutan masyarakat terhadap keadilan, khususnya yang terkait dengan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM), tak kunjung ditangani serius, maka masing-masing komponen bangsa yang terkait mencari jalan pemecahan sendiri. Inilah tahapan awal yang kuat menuju disintegrasi.
Pemecahan tuntutan masyarakat atas pelanggaran HAM berat (gross violation of human right) memang bukan pekerjaan mudah. Pemerintahan baru Megawati yang hendak dibangun di atas landasan demokrasi menghadapi masalah pelik dalam upaya menjawab kebutuhan rakyatnya akan pengusutan pelanggaran HAM yang dilakukan rezim otoriter Soeharto, sebelumnya.
Kerepotan yang sama menimpa pemerintahan serupa di belahan dunia lain. Pemerintahan transisi akhirnya berusaha menyelesaikan kejahatan berat HAM dengan berupaya mendamaikan kecederungan menghukum dan memberi maaf atau amnesti. Tak heran bila usaha mereka sebatas upaya memberi ''keadilan transisional'', yang tentu tak sepenuhnya memuaskan.
Pendekatan hukum dapat dipastikan sulit berhasil. Penyebabnya perangkat hukum yang ada sebagian besar hasil rezim lama yang tak memadai, secara administratif dan substantif. Mau tidak mau proses legal reform menjadi prasyarat tegaknya hukum. Namun, belum lagi proses dimaksud berbuah, tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM perlu mendapat prioritas penanganan demi kredibilitas eksistensi bangsa.
Berdasar kondisi tersebut, dibutuhkan sebuah tatanan hukum ''sementara'' yang hanya diterapkan selama masa transisi. Di sini prinsip hukum yang kaku ''dilunakkan'' sebagai konsekuensi logis kondisi obyektif yang ada. Dalam konteks inilah wacana pembentukan sebuah komisi khusus yang bertugas mencari kebenaran dan mengupayakan rekonsiliasi menjadi isu sentral.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mesti dipandang dalam konteks persoalan di atas. Tidaklah keliru kalau dikatakan bahwa ia jawaban eksperimentatif atas situasi transisi politik.
Namun Farid Esack, salah seorang tokoh rekonsiliasi nasional Afrika Selatan yang menjadi pengajar Universitas Western Cape, Afsel, dan sejumlah universitas di berbagai belahan dunia --antara lain Oxford, Cambridge, Harvard-- berpendapat bulat bahwa Indonesia termasuk negara yang membutuhkan KKR. Penegasannya itu dikemukakan dalam kunjungannya ke Jakarta beberapa waktu lalu, setelah bertemu dengan tokoh politik di Senayan dan kalangan akademisi. ''Negeri ini membutuhkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,'' tandasnya.
Di Afsel, ulasnya, KKR sangat berhasil mengungkap sekian banyak kebenaran. Meski begitu Esack tak memastikan apakah KKR di negerinya telah benar-benar berhasil mewujudkan rekonsiliasi. Namun, selanya, ''Sampai tingkat tertentu komisi ini memang sangat efektif.''
Pengantar:
ANTARA MASA SILAM DAN MASA DEPAN
Bagaimana jalan terbaik menyelesaikan kasus pelanggaran HAM? Satu pertanyaan ini mengundang belasan jawaban sekaligus perdebatan. Melalui berbagai bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sejumlah negara berhasil mengurai benang kusut masa lalunya. Bagaimana di Indonesia?
Invasi Amerika Serikat ke Afghanistan yang merenggut ratusan nyawa penduduk sipil --termasuk anak-anak, tampaknya untuk sementara mengalihkan perhatian kita pada beberapa persoalan akut bangsa. Ancaman disintegrasi di Aceh dan Papua, serta konflik di Maluku nyaris terlupakan. Bahkan, Majelis Permusyawatan Rakyat yang menggelar Sidang Tahunan belum lama ini lebih memilih ''tawuran'' sesama anggota daripada membahas aspek krusial bangsa tersebut.
Padahal, ancaman itu amat riil karena ketika tuntutan masyarakat terhadap keadilan, khususnya yang terkait dengan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM), tak kunjung ditangani serius, maka masing-masing komponen bangsa yang terkait mencari jalan pemecahan sendiri. Inilah tahapan awal yang kuat menuju disintegrasi.
Pemecahan tuntutan masyarakat atas pelanggaran HAM berat (gross violation of human right) memang bukan pekerjaan mudah. Pemerintahan baru Megawati yang hendak dibangun di atas landasan demokrasi menghadapi masalah pelik dalam upaya menjawab kebutuhan rakyatnya akan pengusutan pelanggaran HAM yang dilakukan rezim otoriter Soeharto, sebelumnya.
Kerepotan yang sama menimpa pemerintahan serupa di belahan dunia lain. Pemerintahan transisi akhirnya berusaha menyelesaikan kejahatan berat HAM dengan berupaya mendamaikan kecederungan menghukum dan memberi maaf atau amnesti. Tak heran bila usaha mereka sebatas upaya memberi ''keadilan transisional'', yang tentu tak sepenuhnya memuaskan.
Pendekatan hukum dapat dipastikan sulit berhasil. Penyebabnya perangkat hukum yang ada sebagian besar hasil rezim lama yang tak memadai, secara administratif dan substantif. Mau tidak mau proses legal reform menjadi prasyarat tegaknya hukum. Namun, belum lagi proses dimaksud berbuah, tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM perlu mendapat prioritas penanganan demi kredibilitas eksistensi bangsa.
Berdasar kondisi tersebut, dibutuhkan sebuah tatanan hukum ''sementara'' yang hanya diterapkan selama masa transisi. Di sini prinsip hukum yang kaku ''dilunakkan'' sebagai konsekuensi logis kondisi obyektif yang ada. Dalam konteks inilah wacana pembentukan sebuah komisi khusus yang bertugas mencari kebenaran dan mengupayakan rekonsiliasi menjadi isu sentral.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mesti dipandang dalam konteks persoalan di atas. Tidaklah keliru kalau dikatakan bahwa ia jawaban eksperimentatif atas situasi transisi politik.
Namun Farid Esack, salah seorang tokoh rekonsiliasi nasional Afrika Selatan yang menjadi pengajar Universitas Western Cape, Afsel, dan sejumlah universitas di berbagai belahan dunia --antara lain Oxford, Cambridge, Harvard-- berpendapat bulat bahwa Indonesia termasuk negara yang membutuhkan KKR. Penegasannya itu dikemukakan dalam kunjungannya ke Jakarta beberapa waktu lalu, setelah bertemu dengan tokoh politik di Senayan dan kalangan akademisi. ''Negeri ini membutuhkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,'' tandasnya.
Di Afsel, ulasnya, KKR sangat berhasil mengungkap sekian banyak kebenaran. Meski begitu Esack tak memastikan apakah KKR di negerinya telah benar-benar berhasil mewujudkan rekonsiliasi. Namun, selanya, ''Sampai tingkat tertentu komisi ini memang sangat efektif.''
Sumber : http://elsam.minihub.org/kkr.htm
Posted in
Artikel
Tulisan Terkait :
Popular Posts
-
MP3 Muslim Entreprener Forum 2012 MEF Ust Heru Binawan [Sambutan DPP HTI] [2 MB] MEF Talk Show Bpk Iskandar Zulkarnain [5 MB] MEF Bala...
-
(Minaut = Pemecahan Persoalan dan Pengambilan Keputusan) Pengantar Dalam menjalankan tugasnya sehari...
-
Oleh : Musryadanta Inilah fakta yang terlihat di kotaku tercinta, dimana pengemis dan anak telantar seolah-olah dilegalkan oleh pemeri...
Recent
Connect with Facebook
Sponsors
Search
Categories
Analisis
Artikel
Berita
Budaya
Catatan Facebook
CCTV
Daerah
download Materi
Gambar Unik
Hot News
Ideologis
Intelektual
IP Camera
Kegiatan
LOWONGAN
Makalah
Monitoring Rumah
MP3
Online Monitoring
Pendidikan
Pengumuman
Photo Unik
Politik Hukum
Potret
Presentasi
Religi
Retorika
rohingya
Sastra
Sosok
teknologi
Tips dan Trik
Tutorial Photoshop
Video
0 komentar for this post
Leave a reply