Terbaru
Recent Articles

APAKAH KOMISI KEBENARAN ITU?

Tidak ada satu definisi KKR yang diterima secara umum. Hal pasti, komisi ini dibentuk dalam situasi transisi politik dalam rangka menangani pelanggaran berat atau kejahatan HAM.

Mencermati keberadaan komisi dimaksud di berbagai negara, terlihat jelas masing-masing memiliki nama, mandat, dan kewenangan yang berbeda terhadap tipe kejahatan HAM yang diusutnya. Namun, meski begitu, komisi-komisi itu dipertautkan satu karakteristik umum.

Terdapat setidaknya empat elemen umum yang dimiliki berbagai KKR di dunia sejauh ini. Pertama, fokus penyelidikannya pada kejatan masa lalu. Kedua, tujuannya untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kejahatan HAM dan pelanggaran hukum internasional pada kurun waktu tertentu, serta tidak terfokus pada satu kasus saja. Ketiga, masa bakti terbatas --biasanya berakhir setelah perampungan laporan. Keempat, memiliki kewenangan mengakses informasi ke lembaga apapun, dan mengajukan perlindungan hukum terhadap saksi.

Mandat KKR di Chili dan Argentina terbatas pada penyelidikan atas kasus-kasus eksekusi di luar proses hukum (extrajudicial executions) dan penghilangan paksa (disappearances) --tanpa pengecualian apakah pelakunya negara maupun kelompok perlawanan bersenjata. Sementara KKR di Afrika Selatan, Guatemala, dan El Salvador mengusung mandat yang sangat luas menjangkau hampir semua tipe pelanggaran berat HAM.

Di Indonesia, proses pembentukan KKR dimandatkan melalui TAP MPR no.VI tahun 2000 tentang Persatuan Nasional yang memastikan penyusunan legislasi tentang komisi kebenaran tersebut. Mandat ini juga ditegaskan kembali dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 43 UU no.26/2000 dijelaskan bahwa kasus pelanggaran berat HAM yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc akan ditangani oleh KKR.

Wacana perlunya KKR di Indonesia muncul tak lama Soeharto jatuh pada Mei 1998, khususnya di kalangan ornop. ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), salah satu di antaranya, yang intensif mengkajinya. Catatan akhir tahun 1998 ELSAM, memuat pentingnya KKR untuk pengusutan pelanggaran HAM rezim terdahulu dan rekonsiliasi untuk mengakhiri konflik.

Gagasan KKR sempat dibahas serius pemerintahan BJ Habibie. Dalam pertemuan Komnas HAM dengan Presiden BJ Habibie, terungkap keinginan pemerintah untuk segera membentuk KKR. Tetapi, rencana ini belakangan raib begitu saja. Tersingkap kabar, pihak militer menolak alias keberatan. Dan, Habibie mengakomodasinya.

Langkah konkrit upaya pembentukan KKR tercapai ketika Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra bertemu dengan kalangan ornop dalam sebuah seminar, beberapa waktu lalu. Ketika kalangan ornop mengemukakan gagasan tentang urgensi KKR bagi Indonesia, Yusril "menantang" agar mengajukan draf RUU-nya. ELSAM menjawab tantangan ini. Perkembangan terakhir, draf RUU KKR dikabarkan telah masuk ke Sekretariat Negara pada awal November 2001.

KKR, terlepas siapa yang membentuknya, dipandang sebagai komisi yang sukses jika berhasil menerbitkan laporan yang komprehensif mengenai pelanggaran HAM masa lalu, dimana masyarakat menerima dan mempercayainya, dan memandang usaha komisi tulus merekonstruksi peristiwa dalam konteks kasus-kasus kejahatan hak asasi manusia yang terpola dan sistematis.

Suatu KKR dianggap berfungsi baik bila memenuhi aspek kebenaran. Komisi ini wajib mengungkap fakta, bukan sekadar rekaan atas fakta. Mereka memberikan laporan yang sesuai norma hukum atau moral internasional. Boleh menyatakan suatu pembunuhan sebagai kejahatan, namun tidak menyejajarkan pembunuhan dengan pemecatan seseorang karana alasan politik. Dan, yang tak kalah penting, KKR harus memaparkan temuannya secara benar dan jujur. Mereka tak dibenarkan menutup-nutupi sebagian isu yang sensitif atau mengaburkan penanggungjawab utamanya, karena tindakan itu akan merusak kepercayaan masyarakat kepadanya.

Dibentuk pertama di Argentina dan Uganda pada 1980-an, KKR kemudian menjadi fenomena internasional. Sekitar 20 negara memilih jalan mendirikan komisi ini sebagai cara mempertanggungjawabkan kejahatan HAM masa lalu. Sejumlah komisi membukukan keberhasilan, namun beberapa negara menelan kegagalan.

Cetusan ide pembentukan KKR di Indonesia sedikit banyak diilhami pengalaman negara-negara yang berhasil mewujudkan rekonsiliasi atas pertentangan hebat dalam penyelesaian luka HAM yang terjadi. Sebut saja pengalaman Afrika Selatan. Adalah Nelson Mandela yang korban politik apartheid di negerinya yang menggagas pembentukan The Truth and Reconciliation Commission.

Pemerintahan BJ Habibie --yang menerima estafet rezim Soeharto-- telah menggelar agenda pembentukan komisi yang dirancang untuk misi mengungkap kasus-kasus kejahatan kemanusiaan pendahulunya. Tapi, Habibie jelas bukan Mandela atau Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung. Kedua tokoh dunia yang disebut terakhir itu adalah korban langsung kejahatan kemanusiaan. Kenyataannya, tidak mudah memulihkan kepercayaan rakyat yang melihat pemerintahan Habibie sebagai serial baru Orde Baru. Inilah tantangan awal kehendak melahirkan KKR. ''Taruhlah pemerintahan Habibie itu musuh, tapi kita harus tetap duduk dan bicara dulu,'' ajak praktisi hukum Buyung Nasution menanggapi pesimisme masyarakat.

Memang, seperti pendapat para analis demokratisasi (diantaranya Huntington, Diamont, dan O'Donnel), proses demokrasi senantiasa berhadapan dengan persoalan sisa-sisa rezim lama. Mereka adalah aktor (pejabat) yang masih menduduki pos-pos strategis.

Terhadap para "orang kuat" tersebut, setidaknya terdapat dua jurus yang dapat disodorkan. Pertama, jurus ekstrim mengikuti nasihat yang pernah dikemukakan Machiavelli pada salah satu penguasa di Italia, Lorenzo De Medici. Yakni, membunuh semua sisa rezim lama, bahkan sampai generasinya yang paling belia untuk menghindari kemungkinan balas dendam. Kedua, rekonsiliasi.

Perlu digarisbawahi rekonsiliasi yang wujudnya ''memaafkan tanpa melupakan'' itu mengharuskan adanya standar yang proporsional batas "dosa" aktor rezim lama yang layak dimaafkan, dan atau tidak termaafkan. Bagi yang tak termaafkan, perlu dikelompokkan lagi sesuai dengan kualitas kesalahannya.

Bagaimana cara menentukan kriteria itu, dan siapa yang berwenang melakukannya? KKR inilah yang diberi kewenangan untuk menentukan siapa di antara aktor rezim lama yang layak dan atau tidak layak diampuni/dimaafkan. Mereka yang tidak layak diampuni dihadapkan pada mahkamah, sipil maupun militer, baik di dalam negeri maupun internasional.

Pasca rezim Soeharto, sudah banyak kalangan, antara lain Nurcholish Madjid, yang mengusulkan dilakukannya rekonsiliasi nasional, atau --memakai istilah yang lebih bernuansa religius: ishlah nasional.

Sayangnya, usulan itu justru lebih banyak direspons kalangan mantan pejabat Orde Baru. Tentu target mereka sangat mudah ditebak, yakni menghindarkan diri dari pertanggungjawaban dosa kemanusiaan yang pernah dikerjakannya. Seperti dalam kasus islah Peristiwa Tanjung Priok dan Peristiwa Lampung. Usulan rekonsiliasi menjadi kontraproduktif bagi demokratisasi. Salah satu ekses lainnya adalah perpecahan di kalangan korban dan keluarganya. Kalau saja, saran rekonsiliasi nasional itu direspons positif, misalnya dengan membentuk KKR, mungkin ceritanya akan berbeda.

Wakil Presiden Hamzah Haz dalam beberapa kali kesempatan menyuarakan urgensi rekonsiliasi atau islah nasional. Cuma, dalam setiap uraian Ketua Umum PPP itu, tersirat maupun tersurat, terselip kesan --atau jangan-jangan pesan?-- untuk memaafkan dan melupakan dosa-dosa Orde Baru. patut disayangkan tentunya.

Untuk merajut masa depan Indonesia baru, rekonsiliasi dinilai mampu mengobati luka rakyat. Rekonsiliasi bukan berarti membuka luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam, melainkan dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban sehingga tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.

Pemulihan hak korban dan keluarganya korban bisa terlaksana dengan pengungkapan kebenaran berbagai peristiwa. ''Pengungkapan ini tidak semata-mata mengadili pelakunya, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah diperolehnya pengetahuan yang benar tentang pola pelanggaran HAM di masa lampau, sehingga dapat dilakukan perubahan kebijakan dan institusional. Dengan perubahan ini dicegah terulangnya pelanggaran yang sama di masa depan,'' kata Asmara Nababan dari Komnas HAM.

Tentu tidak mudah untuk mengantongi harapan itu semua. Pengalaman di negara lain yang sudah membentuk KKR bahwa acknowledging the truth bukan saja sukar, tapi juga penuh risiko. Dikhawatirkan muncul aksi balas balas dendam.

Tersangka pelaku pelanggaran HAM umumnya tertekan kecemasan ketika dimintai keterangan, apalagi di depan publik seperti di Afrika Selatan. Tapi pemberian keterangan secara terbuka melalui media massa wujud proses acknowledging the truth, tentu dengan segala risikonya. Di El Salvador, pemberian keterangan itu dilakukan tertutup. Latarbelakangnya agar yang bersangkutan merasa bebas dan aman menyampaikan keterangan dan pengakuannya. Kelemahannya, mudah muncul kecurigaan masyarakat karena terbuka peluang lebar terjadinya manipulasi, atau paling tidak biasnya tim komisi.

Apa pun metode yang dipilih, risiko tetap saja ada. Ancaman dan pembunuhan terjadi terhadap berbagai pihak yang terlibat KKR. Di Uganda, misalnya, ada anggota KKR yang dikejar-kejar, dibunuh, atau mengasingkan diri ke luar negeri. Di Chili, beberapa pekan setelah KKR mengumumkan hasil kerjanya, setidaknya terjadi tiga pembunuhan politik. Di antaranya terhadap seorang senator terkemuka. Pembunuhan politik tersebut melahirkan ketakutan masyarakat luas (culture of fear). Targetnya, masyarakat berhenti membicarakan proses dan hasil kerja KKR. Agaknya, dalam kadar yang berbeda, risiko ini terjadi di mana-mana, tak terkecuali di Indonesia.

Tetapi misi pengusutan kejahatan HAM tak boleh menyusut. Pasalnya, untuk melalui masa transisi dan melangkah ke masa depan cerah, seluruh komponen bangsa ini memerlukan suatu proses penyembuhan. Hal ini hanya akan terjadi jika penyakit itu diketahui, didiagnosis, dan diobati. Tujuan proses ini intinya membawa pelaku mengakui kesalahan sejarahnya.

Apabila tahapan ini berhasil dilakukan, meski dengan risiko yang besar, diyakini bahwa sumbangannya kepada proses rekonsiliasi sangat berharga. Kita semua tentu tak menghendaki selamanya tenggelam dalam bangkai luka sejarah yang ujung-ujungnya menggiring banyak kalangan, khususnya masyarakat biasa tak henti berkubang dalam deretan pertentangan dan kekerasan yang berdarah-darah.

Sumber : http://elsam.minihub.org/kkr/apakkr.html
Share and Enjoy:

0 komentar for this post

Leave a reply

We will keep You Updated...
Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!
Subscribe via RSS Feed subscribe to feeds
Sponsors
Template By SpicyTrickS.comSpicytricks.comspicytricks.com
Template By SpicyTrickS.comspicytricks.comSpicytricks.com
Popular Posts
Recent
Connect with Facebook
Sponsors
Blog Archives
Recent Comments
Tag Cloud