Terbaru
Recent Articles

Angan Yang Mengambang


Illustrasi
Tatapanku semakin jauh menerawang saat aku memandang sepasang muda mudi yang sedang bercanda. Ya Alloh, begitu bahagianya mereka dengan apa yang mereka rasakan. Mengapa tak ada kesempatan bagiku untuk merasakannya juga? Terlalu hinakah aku hingga harus selalu dalam kesendirian seperti ini? Apa salahku Ya Alloh...? Mengapa Kau selalu mengambil orang-orang yang sangat aku sayangi? Mengapa selalu saja aku kehilangan mereka? Mengapa??
          ”Ris...” sapa sebuah suara sangat hati-hati, tapi aku sudah bisa menebak siapa pemiliknya.
          ”Aku masih ingin sendiri, Hans...” kataku pelan tapi kurasakan mengambang.
          ”Terlalu lama kamu di sini... Sudah waktunya pulang...” balasnya lembut, tapi membuatku merasa terusik.
          ”Kau saja yang pulang, Hans, karena aku masih ingin menikmati semua ini. Aku masih ingin sendiri!” balasku sinis, membuat Hans duduk di depanku dan menatap mataku tajam.
          Aku mengalihkan pandanganku darinya dengan kembali memperhatikan dua sejoli yang sedang bercanda di rerumputan tepat lurus di depanku, meski sedikit jauh. Aku merasa iri dengan apa yang aku lihat, karena aku tak pernah punya sedikitpun senyum selama ini. Hanya tangis yang ada dan mewarnai hidupku, hingga kutak mampu meraba waktu dengan rasaku.
          ”Kaupun bisa seperti mereka, Ris... Bahkan lebih bahagia dari mereka,” kata Hans pelan, tapi seperti tamparan keras buatku.
          Air mataku menetes dengan sangat lambat, membuat pandanganku sedikit kabur. Kuseka butiran basah itu dengan punggung tanganku. Aku terisak dan Hans meraihku ke dalam pelukannya. Aku menangis keras di dada bidang itu, tanpa kupedulikan orang-orang yang ada di sekelilingku. Aku hanya ingin menangis.
                                                *****
          ”Jangan kau salahkan dirimu dengan meninggalnya teman-temanmu itu, Ris... Kau tak adil dengan dirimu sendiri! Merekapun pasti akan tersiksa di akhirat sana, jika kau siksa dirimu sendiri seperti ini...” seloroh Hans, membuatku menatapnya tajam.
          ”Apa yang kau tahu tentang perasaanku atas meninggalnya satu persatu orang-orang yang aku sayangi itu...? Apa kau bisa meraba hatiku akan semua itu? Semua yang telah membuat separoh nyawaku hilang...?” pekikku serak, membuat kedua mataku terasa hangat dan tak urung akupun menangis.
          ”Maafkan aku, Ris. Aku hanya tak bisa melihatmu selalu seperti ini. Aku sangat menyayangimu, Ris... Aku tak sanggup...!” balasnya pelan dan serak.
          Aku terdiam meraba apa yang tengah sahabatku itu rasakan, karena sejak semula aku tahu jika ia ada hati padaku, tapi selalu kutepiskan semua itu. Diapun selalu merestui inginku saat aku menjalin hubungan dengan seorang lelaki. Dia ikhlas layaknya seorang sahabat, namun aku sangat merasakan luka di hatinya saat itu. Aku benar-benar tahu, saat dia menatap penuh resah waktu aku bermanja dengan lelaki lain yang menjadi kekasihku saat itu. Ya Alloh... Mengapa sebesar itu keikhlasan di hatinya, padahal apa yang diikhlaskannya itu akan membuatnya terluka. Aku benar-benar tak percaya ada rasa yang demikian hebatnya.
          ”Lirissa...” panggilnya pelan, sambil meraih tanganku.
          Aku hanya diam sambil terus terisak. Disekanya air mataku dengan telapak tangannya lembut. Aku hanya mengerjap sesaat, ingin merasakan ketulusan itu tapi hanya hampa yang kurasa. Ya... Hampa, rasaku telah mati dan aku tak bisa berbuat apa-apa.
          ”Aku tak bisa berbuat apa-apa tanpamu, Hans... Aku takkan sekuat ini, tanpamu... Tanpamu, Hans... Tapi... Tapi aku tak bisa...”
          ”Ssssttt... Sudahlah, tak perlu kau pikirkan semua rasaku itu, karena aku tahu kau belum siap untuk menerima hati yang baru untuk saat ini. Aku akan menunggumu hingga kamu siap... Aku janji... Ya...?” hiburnya sengat lembut sambil memelukku erat.
          Kubiarkan dia membelai rambutku, hingga kupejamkan mataku karena dadaku terasa begitu sesak. Ya Alloh, begitu tulusnya cinta itu hingga ia mau menungguku hingga masa yang tak bisa kuhitung kapan. Begitu besar rasanya padaku, hingga selalu saja ia mau menerimaku, meskipun bukan yang pertama bagiku sedangkan aku adalah yang pertama baginya. Cinta pertamanya yang dengan sengaja kuhancurkan tanpa rasa apapun untuknya. Aku masih tak percaya dengan apa yang telah kulakukan ini, karena semua akan membuat dia berharap padaku. Lantas, jika waktunya tiba, bisakah aku memberinya cinta seperti apa yang ia harapkan? Bisakah itu kulakukan, Ya Alloh...?
                                                *****
          Kutatap Hans yang hanya terdiam dengan heran, karena tak biasanya ia murung seperti itu. Aku mendekat dan duduk di sampingnya, dia menoleh ke arahku sesaat, lantas menunduk kembali. Sesekali ia menarik nafas panjang, hingga membuatku kembali menatapnya tak mengerti. Aku merasa ada yang ia sembunyikan dariku, tapi aku tak bisa mereka-reka apa itu.
          ”Lirissa...” panggilnya dengan menggantung kata, aku hanya diam tanpa mau menimpali, aku menunggunya meneruskan kalimatnya. ”Dua hari lagi aku akan ke KL...” lanjutnya serak, tapi membuat semua persendianku lemas.
          ”M-Malaysia...?” ejaku terbata.
          Hans tak menyahut, dia malah memandangku dengan mata yang memerah. Aku tahu dia tak akan tega meninggalkan aku sendiri di kota ini, kota kelahiran kami berdua. Akupun membalas tatapannya dengan sedikit kabur, karena tertutup oleh air mataku.
          ”Aku sangat menyayangimu, Ris... Takkan kubiarkan kau sendirian, aku akan menolak promosi itu demi kamu, hanya demi kamu...” ungkapnya sambil mencium punggung tanganku.
          Aku mengerjapkan kedua mataku, hingga air mata yang bertengger di ujung mataku terjatuh ke pipi. ”Jangan Hans... Jangan pernah kau lakukan keputusan bodoh itu. Kau sudah cukup berkorban untukku selama ini. Dan, sekaranglah waktunya kamu untuk menikmati keberhasilanmu, meski jauh dariku. Mungkin dengan adanya jarak bagi kita, hatiku bisa terbuka untukmu, Hans... Untuk cintamu yang tulus itu... Aku janji akan berusaha belajar untuk itu dan aku juga janji, jika waktunya tlah tiba aku akan memberitahukannya padamu, Hans... Aku janji...” paparku parau hampir tak terdengar.
          Mata Hans terbelalak, seakan tak percaya dengan apa yang barusan kuucapkan. Senyumnya mengembang seakan bahagia itu telah ia raih, padahal akupun masih tak mengerti akankah aku bisa belajar untuk mencintainya, mencintai sahabatku sejak kecil itu? Ya Alloh, semoga Engkau menyaksikan peristiwa ini... Berilah kesempatan bagiku untuk memberikan apa yang menjadi pengharapannya itu...
                                                *****
          Masih digenggamnya tanganku, meskipun peringatan untuk para penumpang pesawat telah diumumkan berulang. Hans memandangku dengan berat, meskipun aku berusaha tersenyum untuknya. Dikeluarkannya sesuatu dari balik saku celananya, aku tak tahu itu apa. Seketika dia memperlihatkan sebuah cincin putih dengan mata satu yang sangat lucu dan indah. Aku sedikit tak percaya dengan semua itu, hingga tanpa sepengetahuannya kucubit lenganku pelan. Sakit! Berarti aku tak bermimpi.
          ”Cincin itu kuharapkan masih kau pakai saat aku kembali pulang, karena saat itulah harapanku akan terwujud, Ris... Aku mohon, bukalah pintu hatimu untukku saat itu... Aku sangat berharap,” katanya begitu lembut, hingga membuatku menangis.
          Hans memakaikan cincin itu di jari manisku dengan gemetar, aku hanya terdiam sambil memandangnya. Akupun tak kuasa untuk menahan air mataku hingga tangisku pun pecah. Hans memelukku erat dan tanpa kusadar dia mencium keningku. Dan aku membiarkannya begitu saja tanpa mau mencegahnya.
          ”Aku akan menunggumu, Hans... Aku janji,” kataku bergetar.
          Hans tersenyum sambil mencium tanganku berulang. Dihapusnya air mataku dan dia beranjak pergi menjauh dariku, hingga tanganku pun terlepas darinya. Dia masih membalikkan badannya untuk bisa melihatku, meskipun telah masuk ke koridor penumpang.
Aku hanya mampu menutupi wajahku dengan kedua tanganku, kemudian aku berlari menjauh dari Bandara Juanda itu dengan tangis yang keras, hingga banyak sepasang mata yang memandangku risih, tapi aku tak perduli. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku, tapi aku tak tahu apa. Ya alloh... Dia telah pergi dari sisiku, dan aku tak bisa lagi memandang wajahnya yang begitu teduh bagiku... Begitu tenang kedua matanya saat memandangku, karena mata itu penuh cinta yang amat sangat kuharapkan selama ini. Tapi, bukankah aku telah menolaknya dulu? Tapi mengapa kini aku merasa kehilangannya? Aku tak bisa meraba apa sebenarnya yang terjadi dalam diriku. Aku tak mengerti..
                                      *****
Lima tahun sudah Hans pergi dariku, dan selama itu juga tak satupun berita yang kuterima darinya. Selama itu juga kuhidup dalam kesendirian yang teramat menyiksa. Ingin kumatikan rasaku, hingga tak bisa lagi mengharapkan apa yang tak mungkin bisa kunikmati... Ingin pula kubutakan mataku, hingga tak bisa lagi memandang kemesraan yang mereka pamerkan padaku... Begitu sepi dan hampa hari-hariku, hingga aku memutuskan untuk menerima panggilan kerja di sebuah sekolah Play Group yang tak jauh dari tempat tinggalku. Karena hanya itulah hiburanku selama ini, bersama anak-anak kecil yang sangat membuatku tersenyum dengan segala tingkah polanya yang masih alami.
”Bu gulu, ini gambal apa...?” tanya Alexa lucu, membuatku tersadar dari lamunanku.
”Ooo, ini kan gambar ayah dan kalau ini ibu. Ayo dieja dulu sayang...A-yah...I-bu...” jawabku pelan, hingga membuat gadis kecil yang lucu itu mengangguk-angguk serius. Membuatku tersenyum gemes,hingga aku sempat mencium pipinya yang lembut.
”Eeemmm, tapi Lexa gak punya ibu...” sahutnya datar, tapi membuatku tersentak kaget.
”Maksud Lexa? Ibu sedang pergi?” tanyaku hati-hati.
Gadis kecil itu tak menjawab, tapi malah menangis dengan tertahan, membuatku seketika memeluknya lembut. ”Maafkan bu guru ya sayang... Apa bu guru membuat kamu sedih?Maaf ya sayang...?” hiburku dengan sangat pelan.
Gedis itu melepaskan pelukannya, lalu dia menatapku tajam. Dihapuskannya sendiri air matanya yang membasahi pipinya yang putih bersih. ”Kata ayah, ibu terbang ke surga setelah melahirkan Lexa... Ayah sangat mencintai Lexa, bu gulu...” katanya lagi sangat lucu kudengar.
”Bu guru juga sangat menyayangi Lexa, bahkan kami semua yang ada disini...” hiburku halus, membuat mata gadis mungil itu kembali ceria.
”Nanti Lexa ingin mengenalkan bu gulu dengan ayah Lexa. Lexa ingin bu gulu yang menjadi ibu Lexa. Mau kan bu gulu?” tanyanya lugu, tapi sempat membuatku tertegun dengan pertanyaan itu.
Aku tak menjawab tapi hanya bisa tersenyum sambil menuntun Alexa untuk kembali ke tempat duduknya. Dalam diamku, kumerasa ada yang menarik perhatianku saat kupandangi dengan terliti wajah mungil gadis itu. Begitu kukenal, tapi tak bisa kumenebak wajah siapa dibalik aura polos itu. Hingga aku menyerah dan kembali hanyut dalam bacaanku yang selalu menemani hari-hariku saat menghabiskan waktu mewarnai saat seperti ini.
                                      *****
Saat aku akan memasuki pagar sekolah, ada suara yang sangat kukenal memanggilku dengan khasnya, hingga membuat langkahku terhenti seketika.
”Bu gulu...!” panggilnya lagi setelah dekat denganku.
Aku tersenyum mendapati Alexa. ”Diantar siapa sayang?” tanyaku sambil menerima ciuman tangan darinya.
”Ayah... Itu...” jawabnya sambil menunjuk seseorang yang sedang menelpon.
Aku tak bisa melihat wajahnya karena dia sedang memunggungi kami. ”Ayp kita masuk,” ajakku, tapi gadis lucu itu menggeleng manja, buatku kembali tersenyum melihat tingkahnya itu.
”Ayah..!” panggilnya keras, membuat sosok itu membalikkan badannya cepat.
Ya Alloh....! ” Hans...” panggilku pelan hampir tak terdengar, tapi membuat sosok itu terperanjat seketika saat melihatku berdiri dekat dengan putrinya. Tak terasa air mataku menetes, dan seketika itu pula aku berlari masuk ke dalam ruang guru tanpa mau perduli dengan panggilan Alexa dan Hans yang bergantian. Hatiku hancur... Selama lima tahun kuhabiskan hidupku hanya untuk kesetiaan yang semu. Apalah artinya cincin emas putih yang selalu menemani hari-hariku... Ya Alloh, begitu tak pantaskah hambaMu ini untuk mencintai kaum Adam? Apakah salah untuk hamba, Ya Alloh...?
                                      *****
Kuterdiam saat Hans menatapku, karena aku sudah tak bisa merangkai kata yang sebenarnya sudah sangat banyak yang ingin kukatakan padanya saat dia pulang untukku nantinya, tapi kenyataan itu berkata lain, hingga kuhanya mampu membisu seperti ini.
”Maki aku, Ris... Tapi aku mohon, jangan membenciku... Bukan maksudku untuk meninggalkanmu tanpa kabar apapun seperti ini, karena semua itu ada alasannya... Aku mohon, dengarkan alasanku, Ris...” aku Hans bergetar, membuatku beranjak menjauh darinya menuju kolam ikan yang ada di halaman depan.
Hans mengikutiku dengan diam, lalu dia menarik tanganku cepat, membuat langkahku terhenti. Kini, aku tepat berada di hadapannya sangat dekat hingga akupun dapat merasakan hembusan nafasnya yang tersendat.
”Kau tak perlu mengatakan apa-apa padaku, karena tak akan membalikkan semuanya. Hanya satu hal yang ingin kukembalikan padamu...” balasku parau, sambil melepas cincin emas putih dari jari manisku. Aku menyerahkan pada Hans, membuatnya hanya tertegun dan menatap mataku tak percaya.
”Kau...?”
”Ya, aku masih memakainya hingga saat ini... Tapi aku telah melepaskannya saat ini juga. Aku tak pantas memakainya lagi, meskipun selama ini aku berusaha untuk setia dengan cinta yang lambat laun aku rasakan. Aku mencintaimu, Hans... Jauh setelah beberapa langkah aku meninggalkan Bandara Juanda lima tahun lalu.. Tapi...”
”Lirissa...” panggilnya lembut, sambil menarikku ke dalam pelukannya.
Entah mengapa aku hanya bisa terdiam tanpa menangis sedikitpun, hatiku kurasakan mati tak bisa merasa apapun itu. Mati...
”Menangislah, sayang... Seperti waktu kau menangis dalam dekapanku dulu... Menangislah, kasih... Seperti saat kau menangis dalam senja yang gerimis itu... Aku akan selalu ada untukmu, meskipun semua mimpi itu kini terpenggal oleh satu keadaan yang aku sendiri tak tahu apakah benar apa yang sudah kulakukan itu.. Maafkan aku, sayang... Semuanya diluar inginku, karena semua itu terjadi dengan tiba-tiba tanpa sedikitpun kesempatan untukku untuk mengabarkannya padamu...” ceritanya dengan sangat pelan, tapi tak bisa kupahami semuanya karena hatiku terasa amat sangat terluka, meski harus kuakui bahwa rasaku padanya tak berubah sedikitpun. Aku masih tetap mencintainya, walaupun aku selama ini memendamnya dalam hatiku.
”Sudahlah Hans, tak perlu kau merisaukan hatiku. Aku ikhlas dengan apa yang sudah terjadi, karena bagaimanapun aku bahagia jika kau merasa bahagia. Bukankah itu gunanya seorang sahabat?” sahutku serak, tapi aku berusaha menutupi kegalauan hatiku.
”Aku mohon Ris, dengarkan ceritaku dulu... Alexa bukanlah putriku, melainkan putri kakak kandungku yang meninggal dunia karena kecelakaan sebulan sebelum dia dilahirkan. Aku hanya menjalankan amanat almarhum untuk selalu menjaganya, tapi sehari setelah Alexa terlahir, ibunya pun meninggal dunia akibat pendarahan hebat. Aku merasa sangat bersalah dengan semuanya, Ris... Kau tahu kan, bagaimana aku sangat menyayangi kakakku? Karena perjuangannyalah aku bisa sampai seperti ini, Ris... Dia yang menghidupi aku semenjak kedua orangtua kami meninggal, kau tahu semua itu kan...?” terang Hans, membuat tangisku seketika pecah.
Aku menangis dengan sesenggukan, karena tak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. Begitu mulia dan tulus keinginannya, hingga membuat hatiku semakin mencintainya.
”Ayah...” panggil sebuah suara yang sangat aku kenal.
Seketika aku membalikkan badanku dan mendapati sosok Alexa, gadis kecil yang sangat lucu itu bersandar di depan pintu. Aku tersenyum sambil menyeka air mataku cepat.
”Lexa...” panggil Hans lembut, sambil menggandeng tangan gadis itu untuk mendekat padaku. ”Panggil, bunda...” pinta Hans, membuatku tersentak kaget, tapi aku tersenyum mendengar itu.
”Benarkah bu gulu mau jadi bunda Lexa...?” tanya gadis itu sangat polos sambil mengerjapkan kedua matanya yang sangat indah, seperti milik Hans, lelaki yang telah berhasil membuka mata hatiku kembali.
”Iya sayang...” jawabku parau, sambil memeluknya erat.
”Bunda... Lexa bahagia banget bisa punya bunda bu gulu... Lexa jadi bisa cerita ke teman-teman kalau Lexa itu sudah punya bunda... Iya kan, Bunda?” tanyanya lagi dengan lucu, membuatku semakin mempererat pelukanku.
Tanpa aku duga, Hans pun memeluk kami berdua, hingga kami saling berpelukan layaknya satu keluarga yang sangat bahagia.
”Aku mencintaimu, Hans... Sangat... Dan aku mau menjadi istri sekaligus ibu untuk Alexa...” bisikku sangat pelan, tapi membuat Hans mencium keningku mesra.
Aku terpejam sesaat, setelah itu aku mencium kening gadis lucu itu denga sayang. Ya Alloh, begitu berat perjalanan hidupku pada awalnya dulu, namun ternyata dibalik semua itu Engkau rencanakan satu kebahagiaan yang amat sangat bagiku... Pengharapan atas semua do’aku akan cinta yang saat inilah Engkau kabulkan... Terima kasih, Ya Alloh, tanpa izinMu takkan mungkin aku tersenyum seperti ini, dan mendapatkan dua malaikat terbaik untuk hidupku... Lindungilah kami, Ya Alloh, hingga kami bertiga selalu bisa tersenyum dengan kebahagiaan yang sebenarnya kebahagiaan... Jangan biarkan angan itu selalu mengambang, karena kini Engkau telah nyatakan angan itu hingga bukan lagi sekedar impian yang semu... Terima kasih, Ya Robb...
Karya Aminatus Zuhriah
Gresik, Jawa Timur
                                                                             THE END
Share and Enjoy:

0 komentar for this post

Leave a reply

We will keep You Updated...
Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!
Subscribe via RSS Feed subscribe to feeds
Sponsors
Template By SpicyTrickS.comSpicytricks.comspicytricks.com
Template By SpicyTrickS.comspicytricks.comSpicytricks.com
Popular Posts
Recent
Connect with Facebook
Sponsors
Blog Archives
Recent Comments
Tag Cloud