Raqan Wali Nanggroe Langgar Konstitusi
* Menyerupai Perangkat Aturan dalam Sistem Kerajaan
BANDA ACEH - Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe (Raqan WN), yang diajukan pihak legislatif (DPRA) ke Gubernur Aceh, ternyata sarat kontroversial dan menuai kritik dari berbagai kalangan. Raqan yang berisi 21 pasal itu, dinilai lebih menyerupai peraturan atau sistem dalam sebuah negara kerajaan (monarki), bersifat radikal, dan melampaui batas-batas kewenangan serta melanggar konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sorotan tajam dan kajian kritis itu disampaikan oleh sejumlah elemen masyarakat, para politisi, praktisi, dan kalangan akademisi pada Seminar Nasional bertajuk “Membedah Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Hamba Laeeh (LSM-PHL) Aceh, di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Sabtu (18/12).
Seminar Nasional yang diikuti oleh berbagai elemen masyarakat itu menghadirkan sejumlah pembicara, yakni Wakil Ketua MPR RI Dr Ahmad Farhan Hamid, Ketua Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) Damai Aceh Mayjen TNI Amiruddin Usman, Kaukus Parpol untuk Demokrasi Mukhlis Mukhtar SH, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Prof Dr Husni Jalil SH MH, pakar hukum tata negara Mawardi Ismail SH MHum, dan praktisi hukum Johnson Panjaitan SH.
Sesi diskusi yang juga dihadiri ratusan peserta termasuk Ketua Majelsi Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), kalangan akademisi dari Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry, serta sejumlah anggota DPRA, dilaporkan berlangsung hangat. Kondisi ini dipicu oleh sejumlah pasal Raqan WN yang merupakan usulan inisiatif Dewan, dinilai kontroversial dan bertentangan dengan konstitusi NKRI.
Melanggar konstitusi
Ketua FKK Damai Aceh, Mayjen TNI Amiruddin Usman mengatakan, sebagian besar kewenangan lembaga Wali Nanggroe bertentangan dengan konstitusi negara RI. Ia menilai, beberapa pasal dalam draf atau Raqan WN itu dikategorikan sebagai pasal “berbahaya”, tidak hanya bagi konstitusi RI, tapi juga bagi proses domokratisasi dan perdamaian Aceh.
Karena itu, Amiruddin melihat keberadaan lembaga Wali Nanggroe yang tertuang dalam Raqan WN tersebut, dapat berdampak positif dan negatif. Dampak positifnya, apabila Lembaga WN dapat mengangkat harkat dan martabat rakyat Aceh, dan menjadi pemersatu seluruh rakyat Aceh tanpa adanya diskriminasi.
“Sebaliknya, banyaknya pasal-pasal kontroversial yang hampir sebagian besar bertabrakan dengan konstitusi RI, tentu saja akan berdampak negatif, tidak hanya dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi juga berbahaya bagi proses demokratisasi dan perdamaian di Aceh,” ujarnya.
Menurut Amiruddin, beberapa pasal Raqan WN yang dinilai kontroversial dan melanggar konstitusi RI, antara lain seperti pada Bagian Kedua Kewenangan Lembaga Wali nanggroe pasal 5 (b) disebutkan; Wali Nanggroe mempunyai kewenangan menguasai semua asset (kekayaan) Aceh di dalam dan luar negeri. “Pasal ini jelas bertentangan dengan UUD 45 yang menyebutkan, semua kekayaan alam, laut dan udara dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” katanya.
Pasal selanjutnya poin (o); menyebutkan Lembaga Wali Nanggroe mempunyai kewenangan memberhentikan/menonaktifkan gubernur atau nama lainnya ketika garis kebijakan yang telah ditentukan tidak dapat dijalankan lagi karena sakit keras, uzur dan atau melakukan perbuatan tercela yang dapat membuat harkat dan martabat Aceh jatuh di mata rakyat. “Pasal ini jelas-jelas bertentangan, karena memberhentikan gubernur itu adalah kewenangan presiden,” kata putra Aceh Singkil itu.
Selain itu, pasal yang tidak kalah menuai polemik juga soal Pasal 5 (n); lembaga wali nanggroe mempunyai kewenangan membubarkan parlemen ketika situasi berada dalam kekacauan (karena kewenangannya). “Ini sangat berbahya, karena parlemen itu dipilih oleh rakyat, masa bisa dibubarkan oleh Lembaga Wali Nanggroe,” kata Amiruddin.
Dia berpendapat bahwa keberadaan lembaga Wali Nanggroe yang merupakan amanat dari MoU Helsinki, memang semestinya harus dilaksanakan pemerintah. “Tapi itu bukanlah lembaga sebagaimana dimaksudkan dalam pasal-pasal Raqan WN yang kontroversial itu, melainkan satu lembaga yang dapat mengangkat harkat dan martabat rakyat Aceh, serta tidak bertentangan dengan konstitusi,” pungkas Mayjen TNI Amiruddin Usman.
Konstitusi kerajaan
Sementara itu, Mukhlis Mukhtar yang juga mantan ketua Pansus XII DPRA Raqan WN periode lalu menyebutkan, substansi raqan insisasi DPRA itu lebih menyerupai “konstitusi” dalam sebuah kerajaan lanjutan (successor state) karena di dalamnya mencantumkan kenwenangan dan fungsi lembaga Wali Nanggroe yang melampaui batas-batas konstitusi. “Kalau dilihat dari subtansinya, raqan ini mengacu pada sistem kerajaan Aceh, di mana keberadaan Wali Nanggroe adalah successor state, yakni Aceh menjadi sebuah negeri sambungan,” katanya.
Mukhlis juga menilai bahwa Raqan WN berpotensi memunculkan konflik oleh karena pasal-pasal di dalamnya banyak menuai kontroversi. Sebab, secara historis, katanya, keberadaan lembaga Wali Nanggroe dalam tatanan pemerintah atau kerajaan Aceh juga tidak cukup memiliki referensi sejarah. “Menurut saya, Raqan Wali Nanggroe ini ditunda saja dulu, kalau tidak bisa memunculkan konflik lagi. Ada qanun lain yang lebih prioritas,” kata advokat senior itu.
Meskipun begitu, Mukhlis berpendapat, pihaknya menerima keberadaan Lembaga WN sejauh subtansinya tidak membredel hak-hak demokrasi rakyat. Bahkan dia menawarkan alternatif lain yaitu, seluruh kewenangan Wali Nanggroe yang tidak bertentangan dengan konstitusi diberikan saja ke gubernur untuk memperkuat posisi gubernur sebagai kepala pemerintah.
Tak bertabrakan
Tidak halnya dengan Mukhlis Mukhtar dan Amiruddin, pemateri lainnya, Dr Ahmad Farhan Hamid menyikapi polemik pasal kontroversi dalam Raqan WN lebih diplomatis dan normatif. Menurut dia, hal terpenting, Lembaga WN bukan lembaga politik dan pemerintah.
Tentang ada pihak yang menafsirkan lembga Wali Nanggroe dalam berbagai penafsiran, hal tersebut sah-sah saja sejauh tidak melampaui koridor konstitusi. “Penafsiranya diserahkan kepada kita, tetapi tetap dalam koridor konstitusi sehingga tidak ada yang bertabrakan dengan Undang-undang,” kata Farhan.
Sementara itu, menurut pandangan para pakar hukum Raqan WN dilihat dari segi hukum tata negara belum dapat disahkan sebagai qanun. Pandangan itu disuarakan oleh tiga pakar hukum. Yaitu Prof Dr Husni Jalil SH MH (guru besar Fakultas Hukum Unsyiah), Mawardi Ismail SH M Hum (pakar hukum Unsyiah) dan Jonhson Panjaitan SH (praktisi hukum).
Menurut Husni Jalil, kedudukan lembaga wali nanggroe tidak masuk dalam kewenangan trias politika (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Esensi lembaga Wali Nanggroe ditafsirkan dari sifat, profesionalisme dan independensi. “Otoritas lembaga Wali Nanggroe tidak dapat mengintervensi kewenangan legislatif dan yudikatif,” jelasnya.
Pandangan lebih ekstrem diungkapkan Jonhson Panjaitan. Menurut dia, pasal-pasal yang ada dalam Raqan WN 2010 terkesan lebih radikal dibandingkan dengan draf yang pernah disusun oleh DPRA sebelumnya pada 2007 lalu, yang hanya menjadikan lembaga Wali Nanggroe sebagai institusi adat. “Kalau dilihat ada proses radikalisasi. Ada apa ini, apakah ini konsep elit atau aspirasi rakyat Aceh,” ujarnya mempertanyakan.
Pandangan sedikit berbeda diungkapkan Mawardi Ismail. Menurut pengamat hukum Unsyiah ini, setiap penyusunan qanun telah ada pedoman yakni Qanun Nomor 3 tahun 2007. Demikian pula halnya dengan penyusunan raqan wali nanggroe juga harus berpedoman pada qanun yang ada sehingga subtansinya tidak keluar dari koridor konstitusi negara RI.
“Rancangan qanun wali nanggroe adalah penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan Nomor 11 tahun 2006. Jika demikian raqan tersebut tidak boleh bertentangan dengan konstitusi,” jelasnya.
Sorotan tajam dan kajian kritis itu disampaikan oleh sejumlah elemen masyarakat, para politisi, praktisi, dan kalangan akademisi pada Seminar Nasional bertajuk “Membedah Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Hamba Laeeh (LSM-PHL) Aceh, di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Sabtu (18/12).
Seminar Nasional yang diikuti oleh berbagai elemen masyarakat itu menghadirkan sejumlah pembicara, yakni Wakil Ketua MPR RI Dr Ahmad Farhan Hamid, Ketua Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) Damai Aceh Mayjen TNI Amiruddin Usman, Kaukus Parpol untuk Demokrasi Mukhlis Mukhtar SH, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Prof Dr Husni Jalil SH MH, pakar hukum tata negara Mawardi Ismail SH MHum, dan praktisi hukum Johnson Panjaitan SH.
Sesi diskusi yang juga dihadiri ratusan peserta termasuk Ketua Majelsi Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), kalangan akademisi dari Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry, serta sejumlah anggota DPRA, dilaporkan berlangsung hangat. Kondisi ini dipicu oleh sejumlah pasal Raqan WN yang merupakan usulan inisiatif Dewan, dinilai kontroversial dan bertentangan dengan konstitusi NKRI.
Melanggar konstitusi
Ketua FKK Damai Aceh, Mayjen TNI Amiruddin Usman mengatakan, sebagian besar kewenangan lembaga Wali Nanggroe bertentangan dengan konstitusi negara RI. Ia menilai, beberapa pasal dalam draf atau Raqan WN itu dikategorikan sebagai pasal “berbahaya”, tidak hanya bagi konstitusi RI, tapi juga bagi proses domokratisasi dan perdamaian Aceh.
Karena itu, Amiruddin melihat keberadaan lembaga Wali Nanggroe yang tertuang dalam Raqan WN tersebut, dapat berdampak positif dan negatif. Dampak positifnya, apabila Lembaga WN dapat mengangkat harkat dan martabat rakyat Aceh, dan menjadi pemersatu seluruh rakyat Aceh tanpa adanya diskriminasi.
“Sebaliknya, banyaknya pasal-pasal kontroversial yang hampir sebagian besar bertabrakan dengan konstitusi RI, tentu saja akan berdampak negatif, tidak hanya dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi juga berbahaya bagi proses demokratisasi dan perdamaian di Aceh,” ujarnya.
Menurut Amiruddin, beberapa pasal Raqan WN yang dinilai kontroversial dan melanggar konstitusi RI, antara lain seperti pada Bagian Kedua Kewenangan Lembaga Wali nanggroe pasal 5 (b) disebutkan; Wali Nanggroe mempunyai kewenangan menguasai semua asset (kekayaan) Aceh di dalam dan luar negeri. “Pasal ini jelas bertentangan dengan UUD 45 yang menyebutkan, semua kekayaan alam, laut dan udara dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” katanya.
Pasal selanjutnya poin (o); menyebutkan Lembaga Wali Nanggroe mempunyai kewenangan memberhentikan/menonaktifkan gubernur atau nama lainnya ketika garis kebijakan yang telah ditentukan tidak dapat dijalankan lagi karena sakit keras, uzur dan atau melakukan perbuatan tercela yang dapat membuat harkat dan martabat Aceh jatuh di mata rakyat. “Pasal ini jelas-jelas bertentangan, karena memberhentikan gubernur itu adalah kewenangan presiden,” kata putra Aceh Singkil itu.
Selain itu, pasal yang tidak kalah menuai polemik juga soal Pasal 5 (n); lembaga wali nanggroe mempunyai kewenangan membubarkan parlemen ketika situasi berada dalam kekacauan (karena kewenangannya). “Ini sangat berbahya, karena parlemen itu dipilih oleh rakyat, masa bisa dibubarkan oleh Lembaga Wali Nanggroe,” kata Amiruddin.
Dia berpendapat bahwa keberadaan lembaga Wali Nanggroe yang merupakan amanat dari MoU Helsinki, memang semestinya harus dilaksanakan pemerintah. “Tapi itu bukanlah lembaga sebagaimana dimaksudkan dalam pasal-pasal Raqan WN yang kontroversial itu, melainkan satu lembaga yang dapat mengangkat harkat dan martabat rakyat Aceh, serta tidak bertentangan dengan konstitusi,” pungkas Mayjen TNI Amiruddin Usman.
Konstitusi kerajaan
Sementara itu, Mukhlis Mukhtar yang juga mantan ketua Pansus XII DPRA Raqan WN periode lalu menyebutkan, substansi raqan insisasi DPRA itu lebih menyerupai “konstitusi” dalam sebuah kerajaan lanjutan (successor state) karena di dalamnya mencantumkan kenwenangan dan fungsi lembaga Wali Nanggroe yang melampaui batas-batas konstitusi. “Kalau dilihat dari subtansinya, raqan ini mengacu pada sistem kerajaan Aceh, di mana keberadaan Wali Nanggroe adalah successor state, yakni Aceh menjadi sebuah negeri sambungan,” katanya.
Mukhlis juga menilai bahwa Raqan WN berpotensi memunculkan konflik oleh karena pasal-pasal di dalamnya banyak menuai kontroversi. Sebab, secara historis, katanya, keberadaan lembaga Wali Nanggroe dalam tatanan pemerintah atau kerajaan Aceh juga tidak cukup memiliki referensi sejarah. “Menurut saya, Raqan Wali Nanggroe ini ditunda saja dulu, kalau tidak bisa memunculkan konflik lagi. Ada qanun lain yang lebih prioritas,” kata advokat senior itu.
Meskipun begitu, Mukhlis berpendapat, pihaknya menerima keberadaan Lembaga WN sejauh subtansinya tidak membredel hak-hak demokrasi rakyat. Bahkan dia menawarkan alternatif lain yaitu, seluruh kewenangan Wali Nanggroe yang tidak bertentangan dengan konstitusi diberikan saja ke gubernur untuk memperkuat posisi gubernur sebagai kepala pemerintah.
Tak bertabrakan
Tidak halnya dengan Mukhlis Mukhtar dan Amiruddin, pemateri lainnya, Dr Ahmad Farhan Hamid menyikapi polemik pasal kontroversi dalam Raqan WN lebih diplomatis dan normatif. Menurut dia, hal terpenting, Lembaga WN bukan lembaga politik dan pemerintah.
Tentang ada pihak yang menafsirkan lembga Wali Nanggroe dalam berbagai penafsiran, hal tersebut sah-sah saja sejauh tidak melampaui koridor konstitusi. “Penafsiranya diserahkan kepada kita, tetapi tetap dalam koridor konstitusi sehingga tidak ada yang bertabrakan dengan Undang-undang,” kata Farhan.
Sementara itu, menurut pandangan para pakar hukum Raqan WN dilihat dari segi hukum tata negara belum dapat disahkan sebagai qanun. Pandangan itu disuarakan oleh tiga pakar hukum. Yaitu Prof Dr Husni Jalil SH MH (guru besar Fakultas Hukum Unsyiah), Mawardi Ismail SH M Hum (pakar hukum Unsyiah) dan Jonhson Panjaitan SH (praktisi hukum).
Menurut Husni Jalil, kedudukan lembaga wali nanggroe tidak masuk dalam kewenangan trias politika (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Esensi lembaga Wali Nanggroe ditafsirkan dari sifat, profesionalisme dan independensi. “Otoritas lembaga Wali Nanggroe tidak dapat mengintervensi kewenangan legislatif dan yudikatif,” jelasnya.
Pandangan lebih ekstrem diungkapkan Jonhson Panjaitan. Menurut dia, pasal-pasal yang ada dalam Raqan WN 2010 terkesan lebih radikal dibandingkan dengan draf yang pernah disusun oleh DPRA sebelumnya pada 2007 lalu, yang hanya menjadikan lembaga Wali Nanggroe sebagai institusi adat. “Kalau dilihat ada proses radikalisasi. Ada apa ini, apakah ini konsep elit atau aspirasi rakyat Aceh,” ujarnya mempertanyakan.
Pandangan sedikit berbeda diungkapkan Mawardi Ismail. Menurut pengamat hukum Unsyiah ini, setiap penyusunan qanun telah ada pedoman yakni Qanun Nomor 3 tahun 2007. Demikian pula halnya dengan penyusunan raqan wali nanggroe juga harus berpedoman pada qanun yang ada sehingga subtansinya tidak keluar dari koridor konstitusi negara RI.
“Rancangan qanun wali nanggroe adalah penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan Nomor 11 tahun 2006. Jika demikian raqan tersebut tidak boleh bertentangan dengan konstitusi,” jelasnya.
Sumber : www.serambinews.com
Posted in
Daerah
Tulisan Terkait :
Popular Posts
-
MP3 Muslim Entreprener Forum 2012 MEF Ust Heru Binawan [Sambutan DPP HTI] [2 MB] MEF Talk Show Bpk Iskandar Zulkarnain [5 MB] MEF Bala...
-
(Minaut = Pemecahan Persoalan dan Pengambilan Keputusan) Pengantar Dalam menjalankan tugasnya sehari...
-
Oleh : Musryadanta Inilah fakta yang terlihat di kotaku tercinta, dimana pengemis dan anak telantar seolah-olah dilegalkan oleh pemeri...
Recent
Connect with Facebook
Sponsors
Search
Categories
Analisis
Artikel
Berita
Budaya
Catatan Facebook
CCTV
Daerah
download Materi
Gambar Unik
Hot News
Ideologis
Intelektual
IP Camera
Kegiatan
LOWONGAN
Makalah
Monitoring Rumah
MP3
Online Monitoring
Pendidikan
Pengumuman
Photo Unik
Politik Hukum
Potret
Presentasi
Religi
Retorika
rohingya
Sastra
Sosok
teknologi
Tips dan Trik
Tutorial Photoshop
Video
0 komentar for this post
Leave a reply