Terbaru
Recent Articles

Jurus Jitu Nunun Menghindari Hukum

Tak hanya sakit, ingatan yang sudah abu-abu diusung Nunun Nurbaeti menghindar jeratan hukum dan menjebloskan korban lain. Meniru mantan Bupati Lombok Barat dan Soeharto?

Taji Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah diuji. Memang, kalau soal itu banyak pihak yang ingin menjajal. Kali ini tantangan itu dilancarkan Nunun Nurbaeti. Memang, wanita ini seperti digdaya. Karena dia diyakini menjadi kunci untuk membuka perkara penyuapan anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004, terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.

Tapi, entah bagaimana dia menolak dihadirkan di pengadilan empat terdakwa penerima suap yang disidangkan secara terpisah. Keempat terdakwa itu adalah Dudhie Makmun Murod (F-PDIP), Endin AJ Soefihara (F-PPP), Hamka Yandhu (F-PG), dan Udju Djuhaeri (F-TNI/Polri). Padahal dalam surat dakwaan keempat terdakwa itu, Nunun punya peran jelas dan penting. Setidaknya untuk mengungkap motif atawa latar belakang penyuapan tersebut.

Sayang, yang ditunggu tak pernah menampakkan batang hidungnya. Bahkan dengan santai dia melenggang ke luar negeri pada 23 Maret 2010. Sehari sebelum dirinya dilarang ke luar negeri oleh KPK. Uniknya, tujuan Nunun keluar negeri, yaitu Singapura, menurut pengacara Partahi Sihombing adalah untuk menjalani perawatan.

Nunun yang istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun ini menderita lupa berat, alias vertigo migraine. Setidaknya itulah hasil diagnosis Andreas Harry, dokter spesialis saraf, tentang penyakit yang yang sudah diidap Nunun selama 3,5 tahun. Penyakit tersebut yang mengantar wanita ini untuk dirawat di Singapura.

Bertambah unik, karena dari hasil penelusuran KPK di rumah sakit tempat Nunun dirawat di Singapura, namanya tak ada dalam daftar pasien. Atau terdaftar sebagai pasien rawat jalan para dokter rumah sakit tersebut. Apalagi, dokter yang merawatnya, ternyata bukan memiliki spesialisasi menangani sakit seperti isi surat dokter pribadi Nunun di Indonesia.

“KPK mendapat kepastian, di rumah sakit yang disebut-sebut itu, tidak ada kaitan rawat-merawat dengan yang bersangkutan,” ungkap Juru Bicara KPK, Johan Budi SP.

Lalu, dimana Nunun berada? Apalagi, dari penelusuran KPK dapat disimpulkan, ternyata wanita sosialita itu tak dirawat untuk sakit yang tergolong berat. Lalu, apakah bila benar Nunun mengalami lupa berat, kasus ini akan menjadi misteri karena sama sekali tak terdapat fakta hukum apa motif penyuapan para mantan anggota komisi keuangan DPR periode 1999-2004?

Kalau sudah lupa berat, Pengadilan Tipikor sebagai benteng terakhir mengungkap kasus ini sampai pada motif pemberian, pasti tak akan berdaya. Apalagi, Pengadilan Tipikor punya sejarah menghentikan penuntutan karena terdakwa mengalami sakit yang hampir mirip diderita Nunun.

Penghentian proses penuntutan menimpa terdakwa yang juga mantan Bupati Lombok Barat, Iskandar. Majelis hakim Pengadilan Tipikor memutuskan untuk menghentikan persidangan setelah mendapat keterangan medis terkait observasi kesehatan Iskandar yang didakwa korupsi tukar guling (ruislag) eks kantor bupati Lombok Barat, sehingga negara dirugikan Rp13,864 miliar. Tim dokter RS Cipto Mangunkusumo menyatakan terdakwa sakit permanen karena menderita Demensia.

Demensia menurut situs medicastore.com, adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang secara perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, dan bisa terjadi kemunduran kepribadian.

Iskandar memang menunjukkan segala hal seperti seperti apa yang dijelaskan situs tesebut. Saat persidangan, pria berusia melewati setengah abad dan beristri empat itu menunjukkan tanda-tanda sakit. Bahkan, terdakwa pernah mengompol di kursi terdakwa. Ditambah lagi, keterangan saksi yang memberatkan justru dikatakan bagus oleh Iskandar. Maka, tak ada pilihan lain bagi majelis hakim selain menghentikan perkara.

Patut dicatat, tak ada pemeriksaan pembanding bagi Iskandar dilakukan KPK. Mungkin pula karena KPK yakin akan kondisi Iskandar yang sudah sepuh. Apakah pendapat kedua itu mutlak diperlukan?

Meniru Soeharto
Apa yang dilakukan KPK berbeda bila dibandingkan dengan pengadilan perkara korupsi mantan Presiden Soeharto. Setelah lengser dari jabatannya tahun 1998, beberapa tahun kemudian, penegak hukum mencoba untuk mengusik ‘kekebalan hukum’ Soeharto yang sekira 30 tahun tak pernah diutak-atik.

Soeharto, disangka melakukan korupsi dengan ‘kendaraan’ sejumlah yayasan yang dipimpin, yaitu Supersemar, Dharmais, Dakab, Damandiri, Trikora, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila dan Yayasan Gotong Royong Kemanusiaan, pada sekitar 1979-1998.

Perbuatan itu dilakukan dengan melawan hukum atau telah menyalahgunakan kewenangannya yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yaitu menggunakan sekaligus menerbitkan Keppres dan Peraturan Pemerintah sebagai sarana untuk mengumpulkan dana masyarakat melalui yayasan-yayasan yang dipimpin. Hal itu dilakukan dengan tujuan kepentingan sosial, kemanusiaan, pendidikan. Namun, Soeharto selaku Ketua yayasan tersebut, telah menggunakan sebagian besar keuangan yayasan yang berhasil dikumpulkan tersebut untuk keuntungan atau memperkaya keluarga serta kroni tersangka atau setidak-tidaknya keuangan yayasan tersebut digunakan tersangka untuk kepentingan lain.

Keampuhan Soeharto pun teruji. Setelah penegak hukum memeriksa sekira 101 saksi pada tahap penyidikan, ketika perkara ini berjalan di pengadilan, lembaga ini seketika tak berdaya untuk menggelar perkara tersebut. Satu sebab utama adalah, penuntut umum tak dapat menghadirkan Soeharto sebagai terdakwa di persidangan.

Pada tahap penyidikan, Soeharto diperiksa di tempat kediamannya di Jalan Cendana No 8 Jakarta Pusat dan didampingi oleh Tim Penasehat Hukum, Dokter Pribadi, Tim Dokter Independen RSUP Nasional DR Cipto Mangunkusumo.

Pada setiap pemeriksaan Soeharto, didahului dengan pemeriksaan kesehatan tersangka dan kemudian dievaluasi serta diberitahukan kepada penyidik bahwa tersangka Soeharto dapat didengar keterangannya dengan catatan agar pertanyaan yang diajukan oleh penyidik berupa pertanyaan tunggal dan tidak diperbolehkan adanya interupsi selama berlangsungnya proses tanya jawab.

Tapi, hal itu tak terjadi di pengadilan. Sekalipun ruang pengadilan Soeharto dipindah dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke salah satu ruang besar di Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan. Mantan Presiden RI kedua ini tetap tak datang ke pengadilan untuk didakwa melakukan penyimpangan penggunaan dana di tujuh yayasan tersebut yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp1,4 triliun dan AS$419,6 juta.

Pihak Soeharto hanya diwakili tim penasihat hukum. Mereka juga membeberkan rekam medis tim dokter kepada publik. Berdasarkan pemeriksaan tim medis RSCM, secara neurologik (sistem syaraf), yang bersangkutan mengalami gangguan fungsi luhur, fungsi memori yang kompleks dan mengalami kelambatan aktifitas mental.

Selain itu, secara psikiatri kliennya dinyatakan hanya mampu memahami dan mengemukakan hal-hal sederhana. Selebihnya, kualitas pembicaraannya tidak bisa dijamin. Gangguan kesehatan seperti itulah yang kemudian populer dengan sebutan brain damage alias kerusakan fungsi otak.

Tekanan masyarakat pada pemerintah membuat pengadilan Soeharto dilakukan, sejak 31 Agustus 2000. Soeharto diperintahkan hadir, namun yang ditunggu tak muncul jua. Tim dokter menyatakan Soeharto tak mungkin mengikuti persidangan. Karena itu, ketua majelis hakim Lalu Mariyun memutuskan memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan RSCM untuk menjelaskan perihal kesehatannya.

Sidang pun dilanjutkan pada 14 September 2000. Suasana pun tak berubah. Karena itu Soeharto harus diperiksa oleh tim dokter lain yaitu dari RS Pusat Pertamina. Selama sembilan jam pemeriksaan kesehatan Soeharto pada 23 September 2000 oleh tim yang dipimpin Prof dr M Djakaria, dengan hasil tak ada masalah secara fisik.

Namun, Soeharto menurut tim dokter mengalami gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak berkomunikasi. Hasil tes tersebut yang membuat pengacara Soeharto menolak menghadirkan Soeharto di pengadilan.

Oleh sebab itu, majelis hakim pada 28 September 2000 menetapkan penuntutan perkara pidana Soeharto tidak dapat diterima. Sidang pun dihentikan karena tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan.

Nunun Terjaring?
Berkaca pada rekaman sejarah serupa itu, agaknya patut menjadi pertanyaan banyak pihak, apakah KPK mampu menuntaskan perkara dugaan suap terkait pemenangan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia tahun 2004 yang tengah bergulir Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Bahkan, hal ini menjadi bahan serangan sejumlah anggota Komisi III DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat dengan KPK 28 April – 29 April 2010. Pertanyaan utama legislator di komisi hukum adalah mengapa KPK hanya menggiring empat mantan anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004 ke pengadilan? Apalagi kapasitas para mantan anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dalam kasus tersebut hanya sebagai penerima.

Seperti diketahui, Traveller Cheque (TC) yang diterbitkan PT Bank International Indonesia Tbk diterima empat terdakwa, dengan denominasi Rp50 juta sebanyak 480 lembar. TC itu ternyata dipesan oleh petinggi PT First Mujur Plantation Industry dan rekan bisnisnya (alm) Ferry Yan.

Sebagian besar anggota Komisi III menilai dakwaan tersebut pilih bulu atau tebang pilih. Karena KPK hanya menyeret pihak yang menerima, sedangkan si pemberi masih tak tersentuh.

Patut diketahui, setelah TC itu dipesan, tak ada lagi cerita yang terurai selain lembar kertas berharga itu ada di kantor PT Wahana Esa Sejati, milik Nunun Nurbaeti. Oleh Nunun, TC tersebut dikelompokkan dalam empat kantong besar dan diberi tanda warna merah, kuning, hijau, dan putih.

Warna-warna itu mewakili fraksi-fraksi di Komisi IX DPR, yaitu merah untuk F-PDIP, kuning untuk F-PG, hijau untuk F-PPP, dan putih untuk F-TNI/Polri.

Lalu, empat kantong tersebut tersebar pada masing-masing fraksi melalui perwakilan masing-masing yaitu Dudhie Makmun Murod (F-PDIP), Hamka Yandhu mengambil kantong dengan tanda warna kuning, Endin AJ Soefihara (F-PPP), dan Udju Djuhaeri menjemput kantong dengan tanda warna putih.

Oleh KPK, keempatnya didakwa dengan pasal 5 ayat (2) juncto pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001. Komisi III DPR yakin, Nunun menjadi kunci perkara ini. Motif apa TC tersebut diterima para mantan anggota Komisi IX DPR 1999-2004?

Namun, setelah persidangan sampai pada tahap penuntutan, penuntut umum gagal menghadirkan Nunun untuk didengar kesaksiannya. Bahkan, kebutuhan tersebut seperti enggan disuguhkan para penuntut umum di pengadilan.

Padahal, Nunun ini diyakini tahu banyak mengenai perkara suap sebanyak Rp24 miliar untuk memenangkan salah satu kandidat untuk menduduki kursi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2004-2009.

Namun, kehadiran Nunun di pengadilan bak menggantang asap. Syahdan, cukup beralasan dengan lupa, tak ingat, sudah lama perbuatan yang dilakukan, Nunun selalu menangkis panggilan penuntut umum untuk hadir di pengadilan sebagai saksi.

Lalu, apakah karena alasan sakit serupa yang diderita Nunun, dia tak hadir di pengadilan sebagai saksi maupun ‘tersangka’? Akankah Nunun tak tersentuh karena dari awal-awal sudah menyatakan sakit?

Jika KPK diam saja, atau sekadar menjadikan perkara Nunun sebagai ‘tabungan’ berharga masa mendatang, sejumlah orang yang berperkara dengan komisi siap berperilaku serupa. Sakit, ingatan abu-abu, pasti jadi senjata ampuh untuk berkelit.
Inu

Dapatkan pengetahuan dan berita hukum di perangkat selular anda, plus diskon khusus untuk seminar, database hukum, dan buku-buku hukumonline. Ketik REG (spasi) HUKUM, kirim ke 9899 (semua operator).

Sumber : www.lowonganpns.net
Share and Enjoy:

0 komentar for this post

Leave a reply

We will keep You Updated...
Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!
Subscribe via RSS Feed subscribe to feeds
Sponsors
Template By SpicyTrickS.comSpicytricks.comspicytricks.com
Template By SpicyTrickS.comspicytricks.comSpicytricks.com
Popular Posts
Recent
Connect with Facebook
Sponsors
Blog Archives
Recent Comments
Tag Cloud