Intelektual Kesehatan Harus Bersikap Kritis Terhadap Kebijakan WHO
Intelektual Kesehatan harus membangun langkah bersama untuk bersikap lebih kritis terhadap berbagai garis kebijakan WHO termasuk dalam standardisasi penanganan penyakit Tuberkulosis. Demikian kesimpulan yang dihasilkan dari acara Round Table Discussion (RTD) Kesehatan dalam Perspektif Islam bertema Selamatkan Generasi dari Bahaya Silent Spread, Silent Genocide Tuberculosis. Kegiatan yang diselenggarakan oleh DPP Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada hari Sabtu, 20 Februari 2010 di Lt 2 Kantor PP Muslimah HTI tersebut dihadiri oleh sejumlah intelektual, praktisi kesehatan, tokoh ormas dan orpol.
Standard penanganan TB yang diberlakukan di Indonesia dinilai mengandung berbagai celah kelemahan. Dr. Flora Eka Sari SpP, praktisi kesehatan paru dewasa dari Universitas Indonesia mengungkapkan celah-celah kelemahan itu terdapat sejak tahap diagnosis, pengobatan hingga tahap terapi. Standard diagnosis yang digunakan selama ini hanya mencakup penderita TB infeksius tetapi mengabaikan keberadaan penderita TB latent. Padahal seiring meningkatnya ancaman HIV/AIDS, pengaruh buruk rokok dan perubahan gaya hidup, kantong-kantong TB latent tersebut semakin meluas tanpa terdeteksi. Resiko penularan TB juga semakin sulit dihentikan akibat kelemahan penanganan pengobatan yang cenderung menciptakan kondisi resistensi. Sementara itu dari aspek terapi, standard terapi TB cenderung tidak konsisten.
Fakta kelemahan standard penanganan TB diperkuat oleh Dr. Aziza Icksan Rad, praktisi sekaligus peneliti kesehatan spesialis radiologi di Rumah Sakit Persahabatan (RSP) Jakarta. Melalui beberapa penelitian mandiri yang dilakukannya, Dr. Aziza mendapatkan kesimpulan bahwa untuk memperoleh hasil screening dengan sensitivitas tertinggi teknik mikrobiologi mestinya dilengkapi dengan standard pemeriksaan radiologi. Sebagai bagian dari elemen RS rujukan respirasi nasional, ia juga menyoroti tertutupnya akses untuk memberikan masukan dan saran perbaikan standard penanganan TB. Sejumlah addendum yang diberikan untuk ISTC (International Standard for Tuberculosis Care) tidak mendapat respon yang memadai dengan alasan bersifat lokal untuk Indonesia. Hasil pemeriksaan radiologi di Indonesia dalam beberapa hal bahkan dinilai misleading/menyesatkan. Hal ini bertentangan dengan apa yang diterapkan di negara-negara maju yang memasukkan radiologi sebagai bagian dari standard baku diagnosis TB. Sementara itu ISTC telah ditetapkan sebagai standard yang mengikat secara internasional. ISTC diintroduksikan dan ditujukan untuk membantu mengatasi TB di Indonesia sejak 2006. Sebelumnya tatalaksana penanganan TB menggunakan strategi DOTS yang telah diperkenalkan oleh WHO sejak 1993 dan diimplementasikan di Indonesia sejak 1995. Namun hingga saat ini TB masih menjadi masalah utama di negara berkembang, bahkan Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan kasus TB terbesar di dunia.
Sikap kritis dan kewaspadaan juga harus dilipatgandakan mengingat diskursus penyakit sebagai senjata biologi bukan hanya isapan jempol. Melalui wawancara khusus, dr Erna Tresnaningsih MOH PhD dari P2PL mengungkapkan bahwa senjata biologi telah digunakan sejak 300 SM hingga baru-baru ini, bahkan dalam perang dunia I dan II, tentara yang meninggal akibat penyakit lebih banyak dibanding akibat luka perang. Sementara itu Multi drug resistent TB (MDR-TB) menurut CDC AS masuk kedalam potensi senjata biologi kategori C yakni meliputi emerging pathogen yang dapat dibiakkan untuk disebarluaskan di kemudian hari karena ketersediaan, mudah diproduksi dan disebarluaskan serta potensial untuk menimbulkan kesakitan dan kematian yang tinggi dan berdampak luas terhadap kesehatan masyarakat.
Secara khusus Ir Hj Ummu Khair, anggota Lajnah Mashlahiyah Muslimah HTI menyoroti lebarnya kesenjangan antara riset-riset para peneliti dengan strategi penanganan berbagai persoalan di Indonesia termasuk persoalan kesehatan. Banyak hasil penelitian dalam negeri yang dinilai feasible dan implementatif justru dikalahkan oleh standard internasional yang mengandung banyak celah kelemahan. Padahal lembaga-lembaga yang menetapkan berbagai standard tersebut selama ini terbukti tidak pernah sunyi dari berbagai kepentingan negara besar. WHO dalam kasus penanganan flu burung misalnya telah terungkap ditunggangi oleh kepentingan Amerika Serikat. Sejarah juga membuktikan lembaga internasional semacam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diinisiasi oleh pemenang perang dunia dan lahir dari rahim perseteruan negara-negara adidaya untuk memperebutkan kedudukan sebagai negara nomor satu. Karenanya keberadaan lembaga internasional di tengah kancah konstelasi politik negara-negara adidaya tidak bisa dipandang sebagai organ netral semata sebaliknya harus terus dicermati potensinya sebagai medium dominasi. Hj. Ir. Ummu Khair mengingatkan bahwa negara adidaya semacam AS terus menerus membangun teknologi militer sebagai teknologi utamanya dan memasukkan kesehatan sebagai bagian darinya. Diskusi tersebut juga mengungkap data Strategi Biodefense AS yang mengintegrasikan secara penuh berbagai lembaga riset, universitas, perusahaan farmasi dalam strategi Departemen Pertahanannya untuk menciptakan kekuatan militer masa depan. Bila hendak bersungguh-sungguh menghadapi mengguritanya tantangan ini, kiranya khilafah dengan sistem Islam adalah satu-satunya harapan bagi negeri ini, ungkap Hj Ir Ummu Khair.
Demikianlah tanggung jawab intelektual muslim hari ini untuk menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah segala kemungkaran. Intelektual yang diberkati pengetahuan harus berdiri di garda terdepan menyuarakan kebenaran dan mengungkap berbagai rencana yang tersembunyi. Mereka harus melekatkan sikap sebagai negarawan sejati untuk berjuang melawan dominasi, menyelamatkan masa depan negara dan masa depan generasi. Insya Allah. (Agt-kantor Jubir Muslimah HTI)
Standard penanganan TB yang diberlakukan di Indonesia dinilai mengandung berbagai celah kelemahan. Dr. Flora Eka Sari SpP, praktisi kesehatan paru dewasa dari Universitas Indonesia mengungkapkan celah-celah kelemahan itu terdapat sejak tahap diagnosis, pengobatan hingga tahap terapi. Standard diagnosis yang digunakan selama ini hanya mencakup penderita TB infeksius tetapi mengabaikan keberadaan penderita TB latent. Padahal seiring meningkatnya ancaman HIV/AIDS, pengaruh buruk rokok dan perubahan gaya hidup, kantong-kantong TB latent tersebut semakin meluas tanpa terdeteksi. Resiko penularan TB juga semakin sulit dihentikan akibat kelemahan penanganan pengobatan yang cenderung menciptakan kondisi resistensi. Sementara itu dari aspek terapi, standard terapi TB cenderung tidak konsisten.
Fakta kelemahan standard penanganan TB diperkuat oleh Dr. Aziza Icksan Rad, praktisi sekaligus peneliti kesehatan spesialis radiologi di Rumah Sakit Persahabatan (RSP) Jakarta. Melalui beberapa penelitian mandiri yang dilakukannya, Dr. Aziza mendapatkan kesimpulan bahwa untuk memperoleh hasil screening dengan sensitivitas tertinggi teknik mikrobiologi mestinya dilengkapi dengan standard pemeriksaan radiologi. Sebagai bagian dari elemen RS rujukan respirasi nasional, ia juga menyoroti tertutupnya akses untuk memberikan masukan dan saran perbaikan standard penanganan TB. Sejumlah addendum yang diberikan untuk ISTC (International Standard for Tuberculosis Care) tidak mendapat respon yang memadai dengan alasan bersifat lokal untuk Indonesia. Hasil pemeriksaan radiologi di Indonesia dalam beberapa hal bahkan dinilai misleading/menyesatkan. Hal ini bertentangan dengan apa yang diterapkan di negara-negara maju yang memasukkan radiologi sebagai bagian dari standard baku diagnosis TB. Sementara itu ISTC telah ditetapkan sebagai standard yang mengikat secara internasional. ISTC diintroduksikan dan ditujukan untuk membantu mengatasi TB di Indonesia sejak 2006. Sebelumnya tatalaksana penanganan TB menggunakan strategi DOTS yang telah diperkenalkan oleh WHO sejak 1993 dan diimplementasikan di Indonesia sejak 1995. Namun hingga saat ini TB masih menjadi masalah utama di negara berkembang, bahkan Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan kasus TB terbesar di dunia.
Sikap kritis dan kewaspadaan juga harus dilipatgandakan mengingat diskursus penyakit sebagai senjata biologi bukan hanya isapan jempol. Melalui wawancara khusus, dr Erna Tresnaningsih MOH PhD dari P2PL mengungkapkan bahwa senjata biologi telah digunakan sejak 300 SM hingga baru-baru ini, bahkan dalam perang dunia I dan II, tentara yang meninggal akibat penyakit lebih banyak dibanding akibat luka perang. Sementara itu Multi drug resistent TB (MDR-TB) menurut CDC AS masuk kedalam potensi senjata biologi kategori C yakni meliputi emerging pathogen yang dapat dibiakkan untuk disebarluaskan di kemudian hari karena ketersediaan, mudah diproduksi dan disebarluaskan serta potensial untuk menimbulkan kesakitan dan kematian yang tinggi dan berdampak luas terhadap kesehatan masyarakat.
Secara khusus Ir Hj Ummu Khair, anggota Lajnah Mashlahiyah Muslimah HTI menyoroti lebarnya kesenjangan antara riset-riset para peneliti dengan strategi penanganan berbagai persoalan di Indonesia termasuk persoalan kesehatan. Banyak hasil penelitian dalam negeri yang dinilai feasible dan implementatif justru dikalahkan oleh standard internasional yang mengandung banyak celah kelemahan. Padahal lembaga-lembaga yang menetapkan berbagai standard tersebut selama ini terbukti tidak pernah sunyi dari berbagai kepentingan negara besar. WHO dalam kasus penanganan flu burung misalnya telah terungkap ditunggangi oleh kepentingan Amerika Serikat. Sejarah juga membuktikan lembaga internasional semacam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diinisiasi oleh pemenang perang dunia dan lahir dari rahim perseteruan negara-negara adidaya untuk memperebutkan kedudukan sebagai negara nomor satu. Karenanya keberadaan lembaga internasional di tengah kancah konstelasi politik negara-negara adidaya tidak bisa dipandang sebagai organ netral semata sebaliknya harus terus dicermati potensinya sebagai medium dominasi. Hj. Ir. Ummu Khair mengingatkan bahwa negara adidaya semacam AS terus menerus membangun teknologi militer sebagai teknologi utamanya dan memasukkan kesehatan sebagai bagian darinya. Diskusi tersebut juga mengungkap data Strategi Biodefense AS yang mengintegrasikan secara penuh berbagai lembaga riset, universitas, perusahaan farmasi dalam strategi Departemen Pertahanannya untuk menciptakan kekuatan militer masa depan. Bila hendak bersungguh-sungguh menghadapi mengguritanya tantangan ini, kiranya khilafah dengan sistem Islam adalah satu-satunya harapan bagi negeri ini, ungkap Hj Ir Ummu Khair.
Demikianlah tanggung jawab intelektual muslim hari ini untuk menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah segala kemungkaran. Intelektual yang diberkati pengetahuan harus berdiri di garda terdepan menyuarakan kebenaran dan mengungkap berbagai rencana yang tersembunyi. Mereka harus melekatkan sikap sebagai negarawan sejati untuk berjuang melawan dominasi, menyelamatkan masa depan negara dan masa depan generasi. Insya Allah. (Agt-kantor Jubir Muslimah HTI)
Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id
Posted in
Berita
Tulisan Terkait :
Popular Posts
-
MP3 Muslim Entreprener Forum 2012 MEF Ust Heru Binawan [Sambutan DPP HTI] [2 MB] MEF Talk Show Bpk Iskandar Zulkarnain [5 MB] MEF Bala...
-
(Minaut = Pemecahan Persoalan dan Pengambilan Keputusan) Pengantar Dalam menjalankan tugasnya sehari...
-
Oleh : Musryadanta Inilah fakta yang terlihat di kotaku tercinta, dimana pengemis dan anak telantar seolah-olah dilegalkan oleh pemeri...
Recent
Connect with Facebook
Sponsors
Search
Categories
Analisis
Artikel
Berita
Budaya
Catatan Facebook
CCTV
Daerah
download Materi
Gambar Unik
Hot News
Ideologis
Intelektual
IP Camera
Kegiatan
LOWONGAN
Makalah
Monitoring Rumah
MP3
Online Monitoring
Pendidikan
Pengumuman
Photo Unik
Politik Hukum
Potret
Presentasi
Religi
Retorika
rohingya
Sastra
Sosok
teknologi
Tips dan Trik
Tutorial Photoshop
Video
0 komentar for this post
Leave a reply